Oleh Piter Abdullah, Direktur Riset CORE Indonesia
INDUSTRI asuransi Indonesia sedang diterpa badai besar yang berkepanjangan. Kerugian dan gagal bayar yang menerpa perusahaan-perusahaan asuransi seperti Jiwasraya, Asabri dan Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera (Bumiputera) berpotensi menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi. Masyarakat berharap permasalahan di perusahaan-perusahaan asuransi ini cepat diselesaikan dan kerugian nasabah diminimalkan. Saat ini ada ribuan nasabah yang menunggu klaim polis mereka bisa dibayarkan.
Meskipun sama-sama perusahaan asuransi besar dan merugikan banyak nasabah, liputan media terhadap permasalahan Jiwasraya, Asabri dan Bumiputera tidak sama besar. Skandal Jiwasraya dan Asabri lebih menyedot perhatian publik, sementara kasus Bumiputera relatif sepi pemberitaan.
Hal ini wajar saja. Jiwasraya dan Asabri merupakan BUMN dan kasus Jiwasraya dan Asabri disinyalir merupakan kasus korupsi yang melibatkan banyak pejabat publik. Kebencian masyarakat akan korupsi yang dilakukan pejabat publik sudah dititik puncak. Mereka berharap kasus korupsi di Jiwasraya dan Asabri bisa diungkap tuntas dan pelakunya mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya.
Sementara Bumiputera bukan BUMN. Tidak ada pejabat public yang diperkirakan terlibat di pusaran kasus Bumiputera. Mungkin ini membuat permasalahan Bumiputera kurang mendapatkan perhatian media.
Permasalahan di Bumiputera sesungguhnya tidak kalah besar dibandingkan Jiwasraya dan Asabri. Bahkan permasalahan Bumiputera yang masih belum ada tanda-tanda bisa segera terselesaikan berpotensi meledak menjadi lebih besar lagi dan merugikan semakin banyak nasabah. Kasus Bumiputera bisa menjadi episentrum dari catastrophe atau kehancuran indusri asuransi. Sesuatu yang harus dicegah, jangan sampai terjadi.
Akar Masalah
Bumiputera bukan BUMN, Bumiputera juga bukan perseroan terbatas. Bumiputera adalah perusahaan swasta murni yang berbentuk mutual. Keunikan bentuk badan usaha Bumiputera memunculkan permasalahan yang berbeda antara Bumiputera dengan Jiwasraya dan Asabri dan membutuhkan solusi yang berbeda pula. Solusi di Jiwasraya dan Asabri tidak bisa sepenuhnya diterapkan di Bumiputera.
Bentuk badan usaha Bumiputera yang mutual memiliki konsekuensi kepada pengelolaan usaha dan posisi dari pemegang polis. Perusahaan mutual atau usaha bersama merupakan konsep usaha dimana masing-masing Peserta/Pemegang Polis menjadi pemilik perusahaan. Dengan status tersebut, peserta/pemegang polis terikat tanggung jawab hukum sebagaimana pemilik usaha pada badan hukum perseroan terbatas.
Sebagai pemilik usaha, pemegang polis memiliki kewenangan yang besar menentukan arah Bumiputera. Sesuai Anggaran Dasar Bumiputera, kewenangan pemegang polis diwakilkan oleh Badan Perwakilan Anggota (BPA). Ketentuan Anggaran Dasar Nomor 15 Bab IV Pasal 8 ayat (1) menyebutkan bahwa BPA sebagai perwakilan para pemegang polis merupakan Lembaga tertinggi di Bumiputera.
Kalau dibandingkan dengan perseroan terbatas, posisi BPA relatif sama dengan Pemegang Saham Pengendali (PSP). Bedanya, PSP lebih ditentukan oleh besarnya kepemilikan, sementara BPA lebih bebas karena posisi para pemegang polis semuanya sama, tidak ditentukan oleh besarnya nilai polis. Perusahaan berbentuk mutual lebih demokratis.
Seharusnya dengan bentuk badan usaha yang mutual dan lebih demokratis Bumiputera bisa lebih baik. Good Corporate Governance bisa lebih ditegakkan. Tetapi berbagai permasalahan yang terjadi di Bumiputera justru dipicu oleh tidak dilaksanakannya konsep mutual secara murni dan konsekuen oleh BPA.
Proses pemilihan anggota BPA selama ini diperkirakan tidak berjalan secara baik. Calon BPA dari masing-masing wilayah (ada 11 wilayah perwakilan anggota) diusulkan oleh kepala kantor wilayah Bumiputera. Hal ini disinyalir menjadi bibit masalah di Bumiputera. Anggota BPA yang terpilih kemudian memiliki keterikatan dengan kepala wilayah Bumiputera yang mengusulkannya, dan memicu terbentuknya faksi-faksi di Bumiputera.
Berbeda dengan PSP di Perseroan Terbatas yang hanya menentukan arah strategis perusahaan, BPA di Bumiputera ikut menentukan operasional perusahaan. Intervensi BPA di manajemen sangat dalam, termasuk misalnya dalam hal pengadaan barang. Kekuasaan dan intervensi BPA yang terlalu dalam ini berpotensi melanggar good corporate governance.
Kontradiktif dengan intervensi nya yang sangat dalam terkait operasional perusahaan, BPA justru tidak cepat tanggap terhadap permasalahan-permasalahan strategis.
Misalnya terkait kerugian atau deficit yang dialami oleh Bumiputera sejak tahun 1997. BPA tidak mampu mengambil keputusan-keputusan yang strategis, membantu pengelola (komisaris dan direksi) Bumiputera dalam menyusun rencana penyehatan keuangan yang tidak hanya disetujui oleh regulator tetapi juga bisa implementatif dan efektif. Ketidak mampuan BPA ini kemudian menyebabkan selalu gagalnya program-program penyehatan keuangan Bumiputera hingga sekarang, dan memicu semakin membengkaknya kerugian Bumiputera. Saat ini kerugian Bumiputera sudah lebih dari 20 triliun Rupiah dan dipastikan akan terus membesar.
Kalau saja BPA melaksanakan tugasnya secara sungguh-sungguh, kerugian atau defisit Bumiputera seharusnya sudah bisa diselesaikan sejak awal ketika nilai kerugian itu masih sangat minimal. Sesuai bentuk badan usahanya yang mutual, Bumiputera memiliki opsi pengakuan kerugian yang bisa dibebankan kepada seluruh pemilik usaha yaitu para pemegang polis. Hal ini diatur dalam pasal 38 Anggaran Dasar Bumiputera.
Ketidakberhasilan Bumiputera untuk segera keluar dari permasalahannya tidak lepas dari tidak kooperatif nya BPA dengan regulator yaitu OJK. Sikap tidak kooperatif BPA antara lain ditunjukkan oleh: Rencana Penyehatan Keuangan Bumiputera yang tidak kunjung disetujui oleh OJK, serta terjadinya perubahan jajaran direksi dan komisaris yang cepat dan sering. Puncak nya adalah ditahannya ketua BPA oleh Kejaksaan atas dugaan tidak melaksanakan Perintah Tertulis dari OJK.
Rekomendasi Solusi
BUMIPUTERA yang memiliki bentuk badan usaha mutual memiliki banyak kelebihan. Tetapi seperti diuraikan di atas, kelebihan-kelebihan itu tidak termanfaatkan dan justru memunculkan banyak masalah.
Kerugian Bumiputera seharusnya bisa lebih awal diselesaikan dengan memanfaatkan ketentuan yang ada di Bumiputera yaitu mengakui kerugian dan membebankannya kepada pemilik usaha (pemilik polis). Sayangnya hal ini tidak dilakukan, sementara BPA dan pengelola Bumiputera tidak kunjung menemukan solusi lainnya. Akibatnya kerugian terus membesar dari tahun ke tahun.
Sudah saatnya Otoritas mengambil Langkah-langkah yang lebih tegas. Kekosongan BPA harus diakhiri. Bumiputera harus segera memiliki BPA yang legitimate untuk selanjutnya membentuk pengelolaa Bumiputera (komisaris dan direksi) yang professional. Hanya dengan demikian maka manajemen Bumiputera bisa bergerak menghidupkan Bumiputera yang saat ini mati suri.
BPA bersama-sama dengan pengelola Bumiputera kemudian bisa menerapkan pasal 38 Anggaran Dasar dan menginisiasi sidang luar biasa Bumiputera untuk memutuskan apakah Bumiputera akan dipertahankan tetap berdiri atau di likuidasi. Apabila Sidang Luar Biasa memutuskan tetap berdiri, maka kerugian akan dibagi prorata diantara para anggota Bumiputera. Tatacara pembagian kerugian diatur dalam sidang BPA.
Penerapan Pasal 38 AD Bumiputera yang merupakan roh dari usaha bersama diyakini adalah solusi terbaik bagi Bumiputera tanpa melibatkan negara. (*)