Oleh Piter Abdullah, Direktur Riset CORE Indonesia
DALAM pertemuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanggal 2 Februari 2022, Komisioner sekaligus Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK, Riswinandi menyatakan adanya kemungkinan OJK mencabut izin usaha Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 – selanjutnya disebut Bumiputera. Solusi akhir ini bisa jadi diambil oleh OJK apabila Bumiputera tidak kunjung membuat rencana penyehatan yang jelas.
Pernyataan Riswinandi segera menjadi berita di berbagai media. OJK bahkan disebut sudah mengibarkan bendera putih tanda menyerah, tidak mampu lagi menyehatkan Bumiputera dan akan segera melikuidasi Bumiputera. Namun, benarkah OJK sudah menyerah dan likuidasi menjadi solusi akhir bagi Bumiputera?
Menurut pandangan penulis, pernyataan Riswinandi bukanlah pernyataan menyerah. Solusi terbaik bagi Bumiputera masih terus diupayakan. Namun, pada akhirnya, solusi akhir bagi Bumiputera ditentukan oleh Bumiputera sendiri. Karena, Bumiputera adalah perusahaan swasta, bukan BUMN yang bisa diselamatkan dengan campur tangan pemerintah.
Diskresi untuk Bumiputera
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR, Riswinandi berupaya menjelaskan bagaimana selama ini Otoritas IKNB terus-menerus memberikan diskresi kepada Bumiputera. Permasalahan di Bumiputera mulai muncul sejak 1997, yang ditandai oleh terjadinya gap antara aset dan kewajiban yang dimiliki. Pada saat itu defisit yang terjadi adalah sebesar Rp2,07 triliun.
Pilihan Otoritas IKNB dalam menghadapi permasalahan Bumiputera adalah melikuidasi atau menyelamatkan. Otoritas IKNB setidaknya sudah tiga kali mengambil pilihan menyelamatkan Bumiputera. Pertama pada 2003, di mana Bumiputera saat itu dinyatakan tidak memenuhi ketentuan Tingkat Kesehatan Keuangan bagi Perusahaan Asuransi. Pada waktu itu Otoritas IKNB yang masih berada di Kementerian Keuangan memilih menyelamatkan Bumiputera dengan mengeluarkan KMK Nomor 504/KMK.06/2004 sekaligus mengizinkan Bumiputera terus beroperasi dengan masa transisi pemenuhan kesehatan keuangan hingga 2010.
Diskresi yang diberikan kepada Bumiputera tidak membantu. Kondisi Bumiputera justru terus memburuk. Pada 2009 defisit membesar hingga Rp2,3 triliun. Otoritas kembali dihadapkan pada pilihan melikuidasi atau menyelamatkan Bumiputera.
Dengan pertimbangan kekhawatiran dampak sistemik, Bumiputera lagi-lagi diselamatkan dan program penyehatan dilanjutkan. Otoritas meminta Bumiputera melakukan perombakan manajemen dan menyusun Program Kerja Fundamental (PKF) 2011-2013. Bumiputera juga diminta menyampaikan rencana anorganik (rencana demutualisasi dan haircut) jangka panjang dan harus diimplementasikan dalam 2-3 tahun.
Hasilnya kembali mengecewakan. Manajemen Bumiputera tidak mampu menyusun dan melaksanakan program kerja penyehatan Bumiputera. Tidak juga mampu menyusun rencana anorganik, melakukan demutualisasi dan haircut.
Pada awal 2013 pengawasan Bumiputera dialihkan ke OJK yang baru saja berdiri. Saat itu posisi defisit Bumiputera telah mencapai Rp10,41 triliun. OJK melanjutkan kebijakan otoritas IKNB sebelumnya dengan memperkenankan Bumiputera beroperasi didukung mekanisme finansial reasuransi, sehingga Bumiputera dapat memenuhi ketentuan kesehatan keuangan.
Program penyehatan Bumiputera kemudian diperkuat dengan penunjukan konsultan BNP Paribas oleh manajemen dan disetujui Badan Perwakilan Anggota (BPA) Bumiputera. Manajemen kemudian menyusun program restrukturisasi Total Solution dengan cara mengundang calon investor untuk mengatasi permasalahan likuiditas dan solvabilitas perusahaan.
Sayangnya program penyehatan yang diperkuat dengan Program Total Solution kembali gagal karena tidak mendapat dukungan BPA. Kondisi Bumiputera justru semakin memburuk dengan defisit dan tunggakan klaim yang semakin menumpuk. Defisit Bumiputera per 31 Desember 2016 meningkat drastis hingga mencapai Rp18,5 triliun.
Menghadapi kondisi keuangan Bumiputera yang semakin memburuk, OJK memiliki tiga opsi, yaitu melakukan haircut kewajiban kepada pemegang polis (kewenangan BPA sesuai Anggaran Dasar, namun tidak dilaksanakan), mencabut Izin Usaha (melikuidasi), atau melanjutkan program penyehatan melalui restrukturisasi perusahaan secara menyeluruh.
OJK kemudian memilih opsi melanjutkan program penyehatan, tapi kali ini dengan menempatkan Pengelola Statuter untuk melaksanakan fungsi Direksi dan Komisaris sesuai Undang-Undang. Ini adalah kali ketiga Otoritas IKNB memilih menyelamatkan Bumiputera. Hasil akhirnya seperti diketahui kembali gagal.
Solusi Akhir: Likuidasi?
Jalan panjang dan berliku penyehatan Bumiputera tampaknya sudah hampir mencapai ujung. OJK jelas belum menyerah. Namun, sudah terlalu lama OJK memberikan diskresi kepada Bumiputera yang sayangnya tidak dimanfaatkan secara baik oleh manajemen Bumiputera. Sudah waktunya nasib Bumiputera dikembalikan kepada pemilik Bumiputera sendiri, apakah akan kembali beroperasi secara sehat atau harus berhenti dan dilikuidasi.
Bumiputera adalah perusahaan mutual dan setiap anggota merupakan pemilik perusahaan. Permasalahan di Bumiputera seharusnya diselesaikan oleh pemilik Bumiputera yaitu para anggota yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Badan Perwakilan Anggota (BPA). Namun, saat ini terjadi kekosongan BPA. Tidak ada ketua maupun anggota BPA yang bisa menjalankan fungsi BPA.
Dalam rangka melengkapi BPA yang merupakan lembaga tertinggi di Bumiputera, dengan fasilitasi OJK, manajemen Bumiputera bersama-sama dengan para pemegang polis telah melakukan pemilihan Ketua dan Anggota BPA yang baru. Harapan penyelesaian seluruh permasalahan Bumiputera tertumpu pada Ketua dan Anggota BPA yang baru.
Ketua dan Anggota BPA yang terpilih nantinya harus segera mengambil keputusan-keputusan strategik, di antaranya adalah perubahan Anggaran Dasar AJBB dan pembentukan manajemen (komisaris dan direksi) Bumiputera yang baru. Dengan Anggaran Dasar yang baru, dan manajemen yang lebih segar, Ketua dan Anggota BPA bisa segera menyelenggarakan Sidang Luar Biasa (SLB) Pemegang Polis untuk menentukan arah Bumiputera ke depan.
Nasib Bumiputera sepenuhnya ada pada Sidang Luar Biasa Pemegang Polis. Penyehatan keuangan Bumiputera hanya bisa dilakukan apabila Sidang Luar Biasa Pemegang Polis mampu mengambil keputusan penting atas kerugian Bumiputera yang sudah menumpuk selama ini. Salah satunya dengan menindaklanjuti Perintah Tertulis OJK yang masih belum dilaksanakan, yaitu mengimplementasikan pasal 38 Anggaran Dasar, mengakui dan membagi beban kerugian kepada seluruh pemilik (pemegang polis) Bumiputera. Langkah ini secara drastis akan menyelesaikan semua beban kerugian Bumiputera sehingga Bumiputera bisa memasuki babak baru, memulai kembali bisnis asuransi jiwa yang menjadi core business Bumiputera.
Apabila BPA gagal menyelenggarakan Sidang Luar Biasa Pemegang Polis, sekaligus gagal mengambil keputusan penting terkait kerugian Bumiputera, maka permasalahan Bumiputera akan berlanjut. Ketika itu terjadi, OJK harus mengambil keputusan yang tidak dikehendaki oleh kita semua, yaitu mencabut izin operasi Bumiputera dan melakukan likuidasi. Opsi ini sekali lagi bukan pilihan OJK. Namun, ketika BPA dan manajemen Bumiputera tidak mampu mencari solusi terbaik bagi Bumiputera, OJK dengan terpaksa akan memutuskan dilakukannya likuidasi. Apakah ini yang akan terjadi? Kita berharap tidak. (*)