Bali – Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), Joko Suyanto mengatakan, industri bank perkreditan rakyat (BPR) dan bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS) saat ini menghadapi berbagai macam tantangan, salah satunya tengah berada dalam pusaran VUCA atau volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity.
“Di dalam kondisi VUCA ini hal-hal yang patut kita pertimbangkan adalah pertama masalah vision. Sudah saatnya kita bersama memanfaatkan visi dari BPR yang kita pimpin, yang tidak hanya hadir untuk melayani transaksi konvensional, tetapi menjadi BPR dengan pelayanan yang menyeluruh, apa pun kebutuhan nasabah semua bisa terlayani di BPR kita,” ujar Joko, dalam Infobank 13th BPR Awards 2022 dan CEO Sharing bertajuk ‘Managing the Uncertainty: Peran Perbankan dalam Mendukung Pemulihan Sektor Pariwisata dan UMKM, serta Memimpin Perusahaan pada Era Disrupsi dan Ketidakpastian’, yang diadakan di The Stones Hotel, Legian, Bali, Rabu, 21 September 2022.
Tantangan kedua ialah ketidakpastian. Disrupsi teknologi dan hadirnya revolusi 4.0 memang memunculkan beragam bisnis yang domain usahanya bersinggungan dengan bisnis BPR dan BPRS. Hadirnya layanan fintech dan berkembangnya layanan e-channel lainnya telah mendisrupsi pangsa pasar utama BPR.
“Bagaimana kita menyikapi ini dengan understanding. BPR yang selama ini sudah dikenal dengan layanan personalnya, jemput bola dan hadir dengan produk yang sesuai kebutuhan, keunggulan tersebut tetap kita pertahankan. Namun kita secara bertahap untuk menaikan service level dengan pelayanan hybrid, tentunya dengan mengkombinasikan antara tatap muka atau jemput bola dengan menggunakan teknologi, hal ini tentunya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas dari bisnis kita,” jelas Joko.
Tantangan ketiga, ialah kompleksitas. Karena itu, lanjutnya, industri ini terus dilakukan penataan oleh regulator. Beragam kebijakan telah dikeluarkan terkait tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan yang sepenuhnya ditekankan untuk memenuhi prinsip-prinsip prudensial banking.
“Untuk menjawab itu, yang ketiga adalah clarity. OJK telah menelurkan roadmap pengembangkan perbankan 2020-2025. Salah satu pilar yang menjadi arah kebijakan adalah akselerasi transformasi digital perbankan. Langkah pengaturan lainnya adalah roadmap pengembangan perbankan Indonesia (RP2I) 2125 bagi industri BPR maupun. Kedua kebijakan tersebut sudah sejalan tentunya dengan transformasi go digital BPR maupun BPRS,” tutur Joko.
Kemudian, terkait aktivitas pengembangan layanan produk yang dilakukan di industri BPR-BPRS yang berbasais digital yang untuk sementara masih terbentur karena adanya tantangan internal maupun eksternal. “Tantangan keempat, saya kira adalah kondisi aktivitas pengembangan layanan produk yang kita lakukan di industri BPR-BPRS yang berbasis digital, untuk sementara masih terbentur karena adanya tantangan internal maupun eksternal industri BPR dan BPRS. Tentu hal ini membatasi ruang gerak kita,” ungkap Joko.
Ia menambahkan, tantangan lainnya ialah terkait kebijakan regulasi restrukturisasi kredit dari OJK yang akan resmi berakhir pada akhir Maret 2023. Kebijakan ini diharapkan dapat diperpanjang karena tentu sangat memberikan ruang bagi industri BPR untuk melakukan assesment pada para debiturnya.
“Untuk itu kami memandang perlu dan penting agar POJK relaksasi khususnya POJK 17 dan POJK 18 bisa dipertimbangkan agar diperpanjang sampai dampak pandemi covid nyata telah terkendali dan ekonomi benar-benar pulih kembali, jelas Joko. (*) Bagus Kasanjanu