Jakarta – Kalender tahun 2022 sebentar lagi telah usai. Tak terkecuali dunia usaha dan sektor keuangan, yang juga mulai bersiap tutup buku dalam beberapa hari ke depan.
Seiring dengan itu, para pelaku industri juga mulai merekapitulasi ulang sembari mengevaluasi perjalanan kinerjanya di sepanjang tahun ini.
Bagi sebagian industri, tahun 2022 masih dirasakan dengan sejumlah tantangan yang tersisa dari kondisi pandemi yang terjadi dalam satu hingga dua tahun ke belakang.
Namun, tak sedikit juga sektor industri yang mulai berani mengklaim bahwa pasar yang digelutinya telah sepenuhnya pulih dari pandemi, dan siap bertumbuh lebih maksimal lagi.
Tentu, hal yang tak mudah untuk menakar kinerja sebuah sektor industri dalam satu tahun terakhir. Dibutuhkan beragam tolok ukur yang obyektif, agar penilaian tersebut akurat dan sesuai dengan dinamika yang terjadi di lapangan.
Seperti halnya dengan yang terjadi di industri perbankan nasional. Dengan segala tantangan dan peluang yang terjadi di pasar, kinerja industri perbankan tentu cukup layak untuk dicermati dan diapresiasi.
Dan salah satu tolok ukur sahih guna menakar kinerja industri perbankan nasional, yaitu melalui pergerakan saham perusahaan-perusahaan perbankan, yang terangkum dalam indeks Infobank15.
Yang menarik, seperti apa pergerakan indeks infobank15 dalam satu tahun terakhir ini? Sekuat apakah laju kumpulan saham di infobank15, bila dibandingkan dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)?
Jika menilik ke belakang, IHSG menutup langkahnya di 2021 dengan parkir di level 6.581,5. Seedangkan indeks infobank15 terpantau nangkring di level 1.031,02.
Selanjutnya, membuka kinerja tahun 2022, IHSG pada pembukaan perdagangan awal tahun, tepatnya di tanggal 3 Januari 2022, sukses melonjak ke level 6.665,31. Sedangkan infobank15 tercatat berada di level 1.037,53.
Sebulan berselang, IHSG pada akhir Januari 2022 bertengger di 6.631,15. Sehingga, dalam sebulan indeks acuan terhitung naik 0,75 persen. Porsi pertumbuhan tersebut jauh lebih kecil dibanding pertumbuhan yang terjadi di infobank15, yang pada akhir Januari 2022 berhasil parkir di 1.072,89. Artinya, terjadi pertumbuhan sebesar 4,06 persen.
Beranjak ke periode triwulanan, IHSG pada 31 Maret 2022 berhasil mencapai 7.071,44. Sedangkan infobank15 sukses nangkring di level 1.167,71. Dengan demikian, dalam rentang tiga bulan IHSG mampu tumbuh sebesar 7,44 persen, sementara indeks infobank15 justru melonjak hingga 12,5 persen.
Kemudian, saat kita menilik pada perjalanan kedua indeks dalam satu semester, tercatat bahwa IHSG per akhir Juni 2022 berada pada posisi 6.911,58. Di lain pihak, infobank15 pada saat yang sama parkir di 1.087,53.
Secara pertumbuhan, porsi lonjakan IHSG menipis menjadi hanya 5,01 persen. Porsi tersebut sedikit di bawah dengan yang berhasil dibukukan infobank15, yakni sebesar 5,4 persen.
Kokoh
Dengan perbandingan perjalanan kedua indeks di atas, nampak jelas bahwa kinerja saham-saham perbankan yang terwakili oleh indeks Infobank15, terbilang cukup moncer dibanding kinerja IHSG, yang mewakili rata-rata kinerja seluruh sektor yang melantai di pasar modal nasional.
Hal ini tak lepas dari komposisi Infobank15 yang notabenenya merupakan deretan saham-saham teratas di yang ada di sektor perbankan. Data terbaru, 15 saham perbankan yang berhak masuk dalam daftar Infobank15 meliputi PT Bank Jago Tbk (ARTO), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI).
Lalu ada pula PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN), PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN), PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR), PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk (BJTM) dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI).
Terakhir, ada PT Bank Bumi Arta Tbk (BNBA), PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA), PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS), PT Bank BTPN Syariah Tbk (BTPS) dan PT Bank Pan Indonesia Tbk (PNBN).
Kuatnya performa saham-saham Infobank15, nampak terlihat dari kemampuannya mencapai titik tertinggi pada level 1.242,19 di akhir April 2022 lalu, seiring dengan semakin membaiknya kinerja industri perbankan saat itu.
Perbaikan tersebut, diantaranya, terlihat dari menurunnya non performing loan (NPL) secara nasional pada Maret 2022, yang oleh Bank Indonesia (BI) tercatat sebesar 2,98 persen. Pun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menyebut bahwa penyaluran kredit perbankan pada Maret 2022 meningkat 6,67 persen secara yoy.
Sektor perdagangan, manufaktur, dan rumah tangga menjadi pendorong terbesar peningkatan itu. Kabar positif itu disinyalir memperkuat keyakinan investor terhadap sektor perbankan.
Namun, kemudian terjadi tren bearish yang dimulai pada pertengahan Mei dengan koreksi 11,7 persen hingga deepest point pada pertengahan Juli melalui koreksi 207.72 poin atau 16,72 persen.
Penurunan itu terjadi diperkirakan karena ada kecenderungan investor taking profit. Selain itu, resesi yang menghantui pada periode tersebut menyebabkan timbulnya rasa pesimistis para spekulan.
Tahun 2022 juga ditandai dengan melandainya euforia valuasi bank-bank digital. Saham-saham bank digital kompak mengalami koreksi setelah memelesat di awal tahun. Sebut saja Bank Raya, Bank Neo Commerce, dan Bank Jago.
Penurunan harga saham ketiga bank tersebut lebih dari setengah harga saham mereka di awal, dengan penurunan masing-masing 70,99 persen, 67,34 persen, dan 63,13 persen secara ytd.
Tak hanya itu, emiten bank digital milik Chairul Tanjung, yakni Allo Bank Indonesia (BBHI), juga terkoreksi 38,6 persen dari harga awal Rp3.957 per lembar. Pun demikian dengan Bank Aladin Syariah (BANK) yang sahamnya menurun 36,17 persen setelah sebelumnya sempat mencatatkan peningkatan rugi bersih (yoy) menjadi Rp80,77 miliar pada semester pertama.
Sementara itu, saham-saham bank dengan fundamental kuat dan kinerja ciamik terbilang stabil, bahkan cenderung meningkat. Saham BCA (BBCA), misalnya, sempat menyentuh level all time high (rekor tertinggi) Rp8.900 pada 24 Oktober lalu.
Kapitalisasi pasarnya pun menembus angka di atas Rp1.097 triliun. Begitu pula dengan Bank Mandiri (BMRI) yang menyentuh rekor tertinggi Rp10.350 sehingga market cap-nya menembus Rp483 triliun. Saham BNI (BBNI) dan BRI (BBRI) pun mencatatkan kenaikan harga signifikan sejak awal tahun.
Kinerja saham emiten perbankan selaras dengan performa keuangannya yang mengalami pertumbuhan solid. BI menyebut, penyaluran kredit perbankan nasional tumbuh 11 persen secara tahunan per September 2022. Fungsi intermediasi yang tumbuh positif berimbas pada tebalnya laba yang diperoleh perbankan.
Pada kuartal ketiga 2022 mayoritas emiten perbankan mencatatkan pertumbuhan laba bersih hingga double digit. BBRI, misalnya, mencatatkan pertumbuhan laba bersih hingga 103,3 persen atau menjadi Rp39,15 triliun.
Demikian pula dengan BBCA dan BBNI yang masing-masing menorehkan pertumbuhan laba 24,8 persen dan 71,7 persen menjadi Rp29,0 triliun dan Rp13,7 triliun. Laba BMRI juga tumbuh double digit, yakni 59,41 persen menjadi Rp30,65 triliun. Sementara, BTN, bank raja KPR subsidi, men catatkan pertumbuhan laba 50,11 persen menjadi Rp2,28 triliun.
Tren positif kinerja emiten perbankan diprediksi masih akan berlanjut hingga akhir 2022. Permintaan kredit masih cukup tinggi. Namun, kenaikan suku bunga dan inflasi juga akan menjadi tantangan bagi perbankan ke depan.
Selain itu, tantangan lain bagi perbankan nasional justru juga datang dari jajaran bank digital pendatang baru yang, beberapa diantaranya, masih struggle untuk lepas dari jerat kerugian.
Sedikitnya dua dari lima bank digital yang sudah merilis laporan keuangan, misalnya, masih mencatatkan perolehan laba yanv minus pada triwulan III-2022.
Dua bank tersebut yaitu PT Bank Neo Commerce Tbk. (BBYB) dan PT Bank Aladin Syariah Tbk. (BANK).
Padahal, dengan status sebagai bank digital, satu hak positif yang harusnya bisa dimanfaatkan untuk menopang kinerja adalah soal efisiensi.
Hal ini yang berhasil dimanfaatkan secara maksimal oleh PT Allo Bank Indonesia Tbk. (BBHI), PT Bank Jago Tbk. (ARTO), dan PT Bank Raya Indonesia Tbk. (AGRO) yang pada saat yang sama justru berhasil membukukan pertumbuhan kinerja yang cukup pesat.
“Kuncinya lebih pada soal efisiensi. Moncernya laba bank digital (bisa didapat) karena bisnis yang efisien,” ujar Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Amin Nurdin.
Menurut Amin, bank digital memiliki kelebihan dari segi sistem bisnis yang tidak bergantung pada banyaknya sumber daya manusia, melainkan disubstitusi oleh kehandalan mesin dan teknologi.
“Mereka tidak butuh banyak manusia. Sebagian besar besar diproses oleh mesin,” tutur Amin.
Berdasarkan laporan keuangan, BBHI mampu membukukan laba bersih sebesar Rp209,02 miliar pada triwulan III-2022. Capaian tersebut melesat 812 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya.
Sementara anak usaha BBRI, yaitu Bank Raya, juga berhasil mencatatkan laba hingga Rp32,47 miliar pada triwulan III-2022, dari kondisi sebelumnya merugi Rp1,83 trikiun pada periode sama tahun lalu.
“Memastikan kinerja menjadi efisien adalah kunci (keberhasilan bank digital), karena itulah yang menjadi pembeda sekaligus kekuatan mereka (dibanding bank konvensional),” tegas Amin. (*) TSA