RIUH rendah suasana Lebaran di tahun ini lebih terasa gaungnya disbanding satu atau dua tahun lalu. Bagaimana tidak, baru pada tahun ini pemerintah kembali memperbolehkan masyarakat untuk mudik ke kampung halaman, usai sekian lama tradisi tersebut terbentur suasana pandemi.
Kebijakan pemerintah terkait pelonggaran aturan penanganan pandemi juga membuat perekonomian masyarakat kembali bergeliat. Daya beli masyarakat mulai pulih. Transaksi harian masyarakat juga sudah mulai kembali seperti sedia kala.
Namun di tengah harapan yang mulai membumbung tersebut, masyarakat dibuat cemas dengan rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam waktu dekat. Jika benar terejadi, maka ini merupakan kali kedua secaar beruntun masyarakat harus menanggung kenaikan harga BBM hanya dalam kurun waktu satu bulan terakhir.
Sebagaimana kita tahu, per 1 April 2022 lalu pemerintah telah menaikkan harga BBM non subsidi jenis Pertamax menjadi Rp12.500 per liter. Kenaikan harga tersebut menjadi tak terelakkan seiring dengan pergerakan harga minyak dunia yang terus melambung.
Pada awal Maret 2022 saja, misalnya, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak April 2022 diperdagangkan di level US$120,76 per barel, melonjak jauh disbanding posisi harga akhir tahun yang masih di level US$76,99 per barel.
Posisi harga tersebut juga sekaligus menjadi rekor tertinggi dalam 14 tahun terakhir. Pun, posisi harga tersebut juga sangat jauh dari asumsi awal yang ditetapkan pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022, yang hanya sebesar US$63 per barel.
Sentimen Rusia-NATO
Secara kasat mata, perang Rusia-Ukraina memang sepintas menjadi alasan utama melonjaknya harga minyak dunia. Hal ini tak terlepas dari posisi Rusia sebagai produsen minyak bumi terbesar kedua dunia, dengan kapasitas mencapai 524,4 juta ton per tahun.
Rusia berada di atas Arab Saudi yang memiliki kemampuan produksi 519,6 juta ton per tahun, dan hanya kalah dari Amerika Serikat (AS) yang mampu memproduksi minyak bumi hingga 712,7 juta ton dalam setahun. Dengan sanksi larangan ekspor yang dijatuhkan AS dan negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (North Atlantic Treaty Organization/NATO) terhadap Rusia atas invasinya ke Ukraina, jelas mengganggu pasokan minyak dunia.
Namun sebelum invasi, harga minyak pada dasarnya sudah terdongkrak seiring pemulihan ekonomi di sejumlah negara yang membuat kebutuhan pasokan energi juga turut meningkat. Pun, lonjakan permintaan justru berbanding terbalik dengan kemampuan produksi sebagian negara produsen minyak yang terganggu kondisi iklim dalam beberapa waktu terakhir.
Subsidi Membengkak
Dengan harga yang terus melonjak drastis, tak ada pilihan bagi pemerintah selain merevisi harga jual BBM menyesuaikan fluktuasi yang terjadi pada harga minyak dunia. Dan akhirnya, per 1 April 2022 lalu, pemerintah melalui PT Pertamina (Persero) telah resmi menaikkan harga BBM non subsidi jenis Pertamax menjadi Rp12.500 per liter.
Selain itu, pemerintah juga menetapkan Pertalite sebagai BBM jenis penugasan yang posisi harganya tetap dijaga oleh pemerintah melalui skema subsidi. Masalahnya, dengan porsi konsumsi Pertalite yang mencapai 80 persen dari total konsumsi BBM nasional, membuat jumlah nilai subsidi yang harus ditanggung pemerintah perlahan kian membengkak.
Dan tak hanya Pertalite, komoditas energi lain yang juga menyedot anggaran subsidi pemerintah seperti BBM jenis Solar dan juga Liquified Petrolem Gas (LPG) alias Gas Elpiji 3kg juga menjadi beban yang tak bias dikesampingkan begitu saja. Karenanya, dengan kondisi faktual yang demikian dilematis, pemerintah menilai kenaikan harga menjadi satu-satunya opsi yang perlu dilakukan untuk bisa bertahan.
Deputi Bidang Koordinasi dan Pengembanbgan Usaha Milik Negara, Riset dan Inovasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), Montty Girianna, menyatakan bahwa saat ini beban subsidi dan kompensasi BBM yang harus ditanggung pemerintah telah mencapai Rp280 triliun. Angka tersebut telah melonjak dua kali lipat dari rencana awal APBN 2022, di mana alokasi dana subsidi dan kompensasi BBM ‘hanya’ disiapkan sebesar Rp140 triliun.
“Untuk LPG, bila harganya masih stay di Rp4.259 per kg atau sekitar Rp12.000 per tabung, maka kita harus nombok sekitar Rp130 triliun, hanya untuk LPG saja. Belum termasuk (untuk) Solar dan Pertalite, yang kita harus nombok sekitar Rp200-an triliun. Jadi total bisa (nombok) sampai Rp280 triliun (kalau tidak ada kenaikan harga,” ujar Montty, belum lama ini di Jakarta.
Dengan kondisi tersebut, Kemenko Perekonomian saat ini tengah mempersiapkan sejumlah skenario terkait rencana kenaikan harga BBM yang bakal diusulkan kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Usulan tersebut disusun bersama dengan beberapa kementerian terkait, yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan juga Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang membawahi PT Pertamina (Persero).
Dalam usulan yang akan diajukan, Kementerian ESDM bertugas untuk menimbang berapa porsi kenaikan harga yang diperlukan, termasuk juga tambahan kuota subsidi yang dibutuhkan agar pasokan BBM di pasar tetap tersedia. Sementara Kemenkeu lebih bertugas menghitung proyeksi inflasi bila harga BBM jadi dinaikkan dalam porsi dan waktu tertentu.
“Dari proyeksi yang disusun Kemenkeu, kita bisa merancang bantalan sosial untuk masyarakat yang rentan terhadap kenaikan harga ini,” tutur Montty.
Tak Perlu Naik
Namun, segala logika dan data yang disampaikan oleh Montty di atas dibantah oleh Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira. Menurut Bhima, pemerintah pada dasarnya tak perlu repot-repot memutar otak untuk menutup kebutuhan anggaran subsidi BBM yang kian membengkak, karena ada sejumlah opsi lain yang bisa dilakukan selain menaikkan harga jual BBM.
“Bahkan sebelum harga Pertamax dinaikkan, Saya selalu katakana bahwa yang perlu dilakukan pemerintah bukan menaikkan harga (BBM), melainkan realokasi anggaran,” ujar Bhima, saat dihubungi Infobank, beberapa waktu lalu.
Sama seperti Montty, Bhima juga sepakat bahwa pemerintah membutuhkan anggaran sedikitnya Rp200-an triliun untuk menambah alokasi subsidi yang semula hanya disiapkan sekitar Rp134 triliun saja. Namun, Bhima menilai kebutuhan tersebut bisa ditutup dari hasil realokasi anggaran infrastruktur yang tersedia di APBN hingga Rp365,8 triliun.
“Dengan kondisi yang masih pandemi begini, Saya pikir kebutuhan infrastruktur belum urgent dan bukan sesuatu yang perlu diprioritaskan. Anggarannya bisa dialihkan ke sana (menutup subsidi BBM). Itu jauh lebih bijak ketimbang menaikkan harga jual, yang itu imbasnya bisa ke berbagai sektor dan lapisan,” tutur Bhima.
Tak hanya itu, pemerintah juga disebut Bhima bisa merealokasi anggaran perjalanan dinas atau paket meeting. Hal ini merujuk pada data Kemenkeu, di mana anggaran perjalanan dinas (perjadin) kementerian/lembaga (K/L) yang menunjukkan tren kenaikan pasca kasus COVID-19 melandai. Menurut Bhima, lonjakan anggaran perjadin dan meeting ini tentu tidak wajar ketika di masyarakat justru semakin familiar dengan aktivitas meeting virtual.
Terakhir, data yang seolah disembunyikan oleh pemerintah, menurut Bhima adalah pada dasarnya pemerintah juga diuntungkan dengan kenaikan harga komoditas dunia, yaitu dengan melambungnya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari windfall (pendapatan tak terduga) atas lonjakan harga sawit dan batubara. “Pemerintah meraup pendapatan cukup besar dari sana. Ini bukan sekadar asumsi, tapi terkonfirmasi dari data penerimaan negara yang terbukti tumbuh 32,1 persen per Maret 2022 lalu,” ungkap Bhima.
Senada dengan Bhima, Pengamat Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, juga menyoroti keuntungan pemerintah dari windfall lonjakan harga komoditas dunia. Dalam hal ini, Indonesia sebagai produsen sawit terbesar di dunia tentu sangat diuntungkan dari lonjakan harga minyak nabati di pasar internasional.
Juga kalaupun anggaran negara dari sana belum cukup menutupi anggaran subsidi BBM, masih ada tambahan pendapatan dari kenaikan harga Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari semula 10 persen menjadi 11 persen per 1 April 2022 lalu.
“Kalau masih kurang juga, anggaran pembangunan IKN (Ibu Kota Negara) juga bisa digunakan lebih dulu. Saya kira pembangunan IKN bisa diundur sejenak. Tapi kalau masyarakat kecil, dengan harga BBM naik, artinya konsumsi dia yang akan menurun. Tidak ada yang bisa direalokasi dari anggaran hidup masyarakat kecil,” ungkap Fahmy.
Menanti Restu
Bak berbalas pantun, Montty dengan tegas membantah klaim Bhima dan Fahmy yang menganggap bahwa windfall dari kenaikan harga minyak dan gas dunia sudah cukup untuk menambal bengkaknya subsidi BBM. Menurut Montty, nilai windfall yang diperoleh pemerintah dari pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor migas maksimal hanya bisa diharapkan sekitar Rp100 triliun saja.
“(Nilai windfall) Itu masih jauh (dari kebutuhan pemerintah). Coba saja lihat asumsi kenaikan harga minyak mentah Indonesia sampai ke level US$100 per barel itu saja kita butuh tambahan sekitar Rp277 triliun. Jadi kalaupun ada windfall sekitar Rp100 triliun, jelas tidak mencukupi,” ucap Montty.
Namun, terlepas klaim manakah yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan, apakah perhitungan Bhima dan Fahmy ataukah pemerintah sebagaimana yang disampaikan Montty, pada dasarnya sinyalemen bakal segera dinaikkannya harga BBM subsidi oleh pemerintah makin santer terlihat.
Terlepas dari keyakinan sejumlah pihak seperti Bhima dan Fahmy bahwa masih ada ‘jalan lain’ di luar opsi kenaikan harga BBM untuk bisa ditempuh oleh pemerintah, faktanya justru satu per satu menteri dan pejabat terkait secara normatif dan bergantian, telah mengonfirmasi adanya skenario kenaikan tersebut.
Menteri ESDM, Arifin Tasrif, misalnya, telah menyebut bahwa dalam waktu dekat pemerintah berencana melakukan penyesuaian terhadap harga jual Gas Elpiji 3g, tarif dasar listrik (TDL) untuk pelanggan non subsidi serta harga BBM bersubsidi jenis Pertalite dan juga Solar.
“Strategi menghadapi dampak kenaikan harga minyak dunia, untuk jangka menengah, akan dilakukan penyesuaian harga Pertalite, Solar dan percepatan bahan bakar pengganti, seperti Bahan Bakar gas (BBG) bioethanol, bio CLG dan lainnya,” ujar Arifin, saat Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (13/4/2022) lalu.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut BInsar Pandjaitan, juga telah dengan lugas menyebiut bahwa harga barang-barang kebutuhan pokok yang dispekulasikan masyarakat bakal segera naik, benar adanya.
“Overall (secara keseluruhan) akan terjadi (kenaikan) nanti, (untuk) Pertamax, Pertalite. Kalau Premium belum (akan naik). Lalu juga gas (LPG) yang 3kg (akan naik). Jadi nanti bertahap, 1 April, lalu Juli, September, secara bertahap akan kita lakukan,” tutur Luhut.
Terbaru, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, juga membenarkan statement Montty bahwa proses pengkajian kini tengah dilakukan pemerintah, sebelum nantinya kenaikan harga BBM subsidi benar-benar diketok palu.
“(Rencana kenaikan harga BBM) Masih dikaji. Saat ini masih (dikaji). Nanti kalau sudah (selesai dikaji), akan diumumkan (hasilnya). Sekarang belum (selesai proses pengkajiannya),” ungkap Airlangga.
Dan konfirmasi paling paripurna pada akhirnya dating dari Sang Pemimpin Tertinggi, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, yang pada satu kesempatan beberapa waktu lalu secara implisit telah membenarkan rencana pemerintah menaikkan harga BBM.
“Saya kira kita sudah tahan-tahan agar tidak terjadi kenaikan (harga BBM). Tapi Saya kira situasinya sudah tidak memungkinkan lagi (untuk menahan kenaikan). Tidak mungkin kita tidak menaikkan (harga BBM). Tidak mungkin,” tegas Presiden.
Maka, jika sudah begini, ketika sudah ada konfirmasi langsung dari pemegang pucuk tertinggi kekuasaan di negeri ini, bisa dikatakan kenaikan harga BBM pada dasarnya sudah diputuskan, dan hanya tinggal belum diumumkan saja. Dengan yang dilakukan saat ini, sangat nampak pemerintah hanya tinggal menunggu momen yang tepat agar dampak akibat kenaikan sebisa mungkin bisa diminimalisasi. Jadi, sudah siapkah Anda merogoh kocek lebih dalam untuk membeli BBM? (*) TSA