REVOLUSI industri 4.0 sedang banyak diperbincangkan dan baru dimulai. Sejak konsep industri 4.0 diperkenalkan pertama kali ke publik dalam pameran industri Hannover Messe di Kota Hannover, Jerman, pada 2011, dunia diwarnai kemajuan yang sangat cepat. Kemajuan yang kini paling terasa adalah internet of things di mana komputer dan smartphone tersambung ke internet. Komputer yang sebelumnya bekerja dengan perintah atau instruksi manusia, akan berubah menjadi mesin yang memiliki kemampuan untuk belajar (machine learning) dan memiliki kecerdasan. Bukan hanya Indonesia, negara-negara maju pun masih terus memperdebatkan konsekuensi dari adanya machine learning dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) karena akan menghilangkan banyak pekerjaan lama sekaligus juga memunculkan banyak pekerjaan baru.
Lalu, bagaimana kesiapan bank perkreditan rakyat (BPR) memasuki revolusi industri 4.0? Menurut kajian Infobank Institute, BPR harus mampu menyelesaikan sejumlah tantangan lama sekaligus menjawab tantangan baru untuk bisa berhasil menghadapi masa depan. Tantangan lama yang harus diselesaikan adalah permodalan dan daya saing. Jika para pemilik dan pengurus BPR ingin bertahan ke depan, maka kemampuan banknya untuk berkompetisi harus ditingkatkan. Sedangkan tantangan barunya adalah bagaimana BPR mampu beradaptasi dengan lingkungan pasar yang berubah sangat cepat dan revolusi teknologi yang telah melahirkan kompetitor baru.
Selama ini kecepatan dan fleksibilitas yang menjadi keunggulan BPR tak ada yang mampu menandingi. Bahkan, rentenir atau lintah darat yang bergerak lebih cepat pun bisa ditaklukkan BPR. Namun, sejak 2015 muncul makhluk baru yang bernama financial technology (fintech) peer to peer (P2P) lending yang kecepatannya melampaui BPR. Berbasis aplikasi digital, fintech yang lahir di era revolusi industri 4.0 pun menjadi pesaing nyata bagi BPR. Untuk tetap survive, maka BPR harus menciptakan keunggulan komparatif (comparative advantage) yang baru, yaitu dengan memanfaatkan teknologi informasi seperti perusahaan-perusahaan rintisan (start up) yang mampu mendisrupsi pasar.
Pasar masa depan harus diakses melalui digital seperti halnya fintech P2P yang mampu mencetak pertumbuhan eksponensial. Lebih dari separuh penduduk Indonesia yang sebanyak 265 juta jiwa sudah mengakses internet (netizen) merupakan potensi besar yang diincar fintech P2P. Seperti BPR, fintech P2P pun tiba-tiba memelesat karena mampu mengisi besarnya gap pembiayaan di mana banyak masyarakat atau pelaku usaha yang belum bisa mendapatkan fasilitas kredit dari bank umum karena sulitnya prosedur dan ketiadaan agunan berupa fixed asset. Bank umum sendiri menghadapi ketidakefisienan untuk memasuki ceruk-ceruk pasar (niche market), apalagi tidak tahu medan. Ketidak-efisienan inilah yang mampu diterobos BPR dan sekarang oleh fintech P2P.
Besarnya gap pembiayaan terlihat dari jumlah unbanked people yang sebanyak 160 juta jiwa dan rasio kredit bank baru sekitar 39% terhadap produk domestik bruto (PDB). Asian Development Bank (ADB) memperkirakan, ada kebutuhan pembayaran sekitar US$144 miliar dan kebutuhan pemin-jaman sebesar US$70 miliar yang belum bisa dipenuhi segmen formal di Indonesia. BPR dan fintech yang mengan-dalkan aksesibilitas dan kecepatan proses akan saling berkejaran mengisi gap ini.
BPR yang tidak mampu meningkatkan daya saing dan beradaptasi dengan perubahan zaman akan Terlibas. BPR mampu menaklukkan rentenir yang bergerak lebih cepat, tapi bagaimana dengan fintech P2P?
Semuanya diulas tuntas dalam Majalah Infobank edisi khusus BPR 2019. (*)