Oleh : Eko B Supriyanto
TIDAK ada lagi bail out, yang ada bail in. Namun, jika yang rusak itu milik badan usaha milik negara (BUMN), toh akhirnya pemilik yang notabene adalah negara, bail in ya itu bail out juga.
Selama ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan tiga peraturan (POJK) sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Ini diyakini memberikan kejelasan dan ketegasan dalam penerapan kebijakan penanganan krisis di sektor keuangan.
Pemerintah juga mengeluar-kan dua peraturan terkait krisis; Bank Indonesia (BI) mengeluar-kan dua Peraturan BI (PBI); sementara Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengeluarkan tiga peraturan. Jadi, total ada 10 peraturan yang disiapkan untuk menangani krisis ini lebih rapi.
Sejak disahkan UU PPKSK, protokol krisis sudah jelas, siapa melakukan apa dari Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS. Masalahnya, siapa yang pertama kali menyebut dan mengusulkan situasi sedang krisis setelah penyehatan bank di Indonesia selalu dipolitisasi hingga kini? Bagaimana jika yang terjadi krisis itu bukan bank, melainkan industri keuangan nonbank? Adakah jalan keluarnya jika asuransi harus mati ketika belum ada program penjaminan polis?
Saat ini ada beberapa perusa-haan keuangan nonbank yang sedang berjuang untuk tetap survive menyelesaikan kewajiban-nya, seperti AJB Bumiputera 1912 dan PT Asuransi Jiwasraya.
Kedua asuransi tersebut merupakan asuransi besar. Jika keduanya dibiarkan menyelesai-kan sendiri, tentu membutuhkan waktu lama. Jelas ini memerlukan terobosan untuk menyelesaikan dengan cepat, dan pemerintah segera turun tangan. Namun, ya itu tadi, bisa jadi bola panas politik. Pengalaman kasus bail out Bank Century (2008) dan SKL-BDNI (2002) yang dipolitisasi dan dikriminalisasi.
Asuransi dan bank sangatlah berbeda. Satu bank mati akan menarik bank lainnya dan meruntuhkan kepercayaan masyarakat. Sementara, asuransi tidak mengajak asuransi lain secara langsung alias tidak secara langsung berdampak sistemik, tapi kepercayaan yang luntur akan membuat asuransi dan multifinance ini mati juga.
Gagalnya asuransi dan multi-finance tidak secara langsung masuk radar protokol PPKSK. Lebih sempit, hanya masuk wila-yah pengawasan dan pembinaan OJK. Keyakinan pemerintah sekarang ini hanya bank yang punya efek sistemik, asuransi tidak disinggung secara jelas.
Nah, bail out ini tidak ada, apalagi buat asuransi. Namun, yang harus dipikirkan oleh semua adalah protokol krisis bagi perusahaan asuransi. Bagaimana kalau perusahaan asuransi besar kesulitan? Bagaimana nasib pemegang polis dan pembeli unit link? Sudah waktunya penjaminan polis ada, UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasurasian, serta dalam POJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Diharapkan perusahaan asu-ransi sehat dengan pengawasan dan pengaturan yang lebih baik. Jangan sampai, begitu aturan penjaminan polis ini ada, banyak perusahaan asuransi yang ramai-ramai menyerahkan diri ke Lembaga Penjamin Polis. Industri asuransi dan keuangan harus disehatkan terlebih dulu. Jujur, industri asuransi tak hanya perlu pengawasan, tapi juga pengaturan yang lebih baik.
Protokol krisis bagi asuransi sudah waktunya ada, termasuk penjaminan polis. Apalagi, 20 perusahaan keuangan, baik bank, asuransi, maupun multifinance, punya potensi sistemik dengan cara yang berbeda. (*)
Penulis adalah Pimpinan Redaksi InfoBank