Ada Salah Hitung Soal Penerima SKL BLBI?

Ada Salah Hitung Soal Penerima SKL BLBI?

JAKARTA – Kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sekarang kembali mencuat, dinilai tak seharusnya kembali menyasar kepada subjek penerima SKL. Selain terkait kepastian hukum, pemerintahan saat ini mengaku masih konsisten dengan keputusan yang diambil oleh pemerintahan sebelumnya.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan, dalam pandangan ekonomi kalaupun sebenarnya ada kesalahan taksir di awal, tak dibenarkan juga jika saat ini kembali menyengketakan hal tersebut kepada pengutang, dalam hal ini obligor. Terlebih, penaksir yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan pemberi utang sudah menyatakan aset tersebut mampu melunasi utangnya.

Jika dikaitkan dengan kasus SKL BLBI ini, BDNI sejatinya tak perlu kembali diseret sebab di awal, BDNI sudah menyelesaikan tanggung jawabnya menyerahkan aset. Pada intinya, kata heri, ketika aset telah diserahkan dan surat lunas telah diberikan, masalah utang-piutang ini semestinya sudab kelar. “Jika ternyata nilainya kurang. Padahal surat lunasnya sudah dikasih. Ini kan yang salah di awalnya, kenapa belakangan baru mencuat lagi?,” ujarnya di Jakarta, Rabu, 28 Februari 2018.

Dirinya menyayangkan dalam kasus SKL ini ada pandangan bahwa pemerintah seolah-olah kecolongan kemudian dianggap BDNI tidak transparan, karena menjual asetnya di bawah nilai taksiran pada waktu itu. “Ketika ternyata beberapa tahun kemudian itu dijual dan loh kok cuma segini, nggak sesuai jumlah utang yang diberikan saat itu, ini kan kesalahannya berada di pihak yang pemberi utangan itu. Kenapa dia nggak dilihat lagi yang benar, harga asetnya segala macam,” tegasnya.

Dalam kesempatan terpisah, Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Isa Rahmatawarta menjelaskan, ada sejumlah skema penyelesaian kewajiban obligor BLBI yakni Akta Pengakuan Utang (APU), MRNIA (Master of Refinancing and Notes Issuance Agreement) dan Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA). “Untuk yang MSAA itu sudah lunas, artinya obligor sudah menyerahkan aset dengan nilai setara atau lebih dari kewajibannya. Sedangkan MRNIA dan APU, obligor belum menyelesaikan kewajibannya dan diserahkan ke Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN),” ucapnya.

Hanya saja, kata dia, masalah yang terjadi saat ini adalah aset yang digunakan pelunasan kewajiban, ternyata setelah dinilai sekarang ini tak sebesar penilaian dulu. “Problem kita adalah di hulu, artinya di BPPN, waktu kita terima ya datanya seperti itu. secara umum masalahnya seperti itu. aset yang diserahkan segini, entah bagaimana dulu pengecekannya. Kemudian diserahterimakan ke kita, aset tidak segitu,” tuturnya.

Lalu, jika saat ini terjadi selisih sementara pada waktu itu sudah clear dan sudah diaudit, kemungkinan ada indikasi kurang bayar yang sekarang diselidiki oleh penegak hukum. Ia mengakui, saat ini pihaknya memang masih mengelola aset peninggalan sejarah di tahun 1998 yang tidak sempurna. “Namun, kita di pemerintah konsisten dengan kebijakan yang sudah diambil bahwa obligor pada waktu itu kooperatif dan menyelesaikan kewajibannya,” ucapnya.

“Tapi, jangan diarahkan bahwa kenapa tidak selesai-selesai. Memang ada aset yang sulit. Tapi itu jumlahnya hanya sekian persen dari aset negara yang kita kelola,” tandasnya.

Untuk diketahui, aset eks BPPN dan PPA yang dikelola DJKN saat ini meliputi aset kredit, properti, inventaris, rekening nostro maupun saham. Rekening nostro atau nostro account adalah rekening yang dibuka atau dimiliki oleh suatu bank pada bank korespondennya (depository correspondent) di luar negeri. Rekening tersebut biasanya dalam mata uang yang berlaku di negara bank tersebut.

Terkait aset kredit, kini tinggal 22 obligor yang masih ditangani oleh PUPN. Pasalnya, sudah ada tiga obligor yang menyelesaikan kewajibannya, yaitu, Dewanto Kurniawan sebagai pemilik Bank Deka, Omar Putih Rai sebagai pemilik Bank Tamar dan Group Yasonta sebagai pemilik Bank Namura.
“Sisanya 22 obligor masih di PUPN dan KPKNL. Jumlah utangnya mencapai Rp31,3 triliun dari 22 obligor yang masih kita urus,” katanya.

Sementara itu, Kepala Sub Direktorat Pengelolaan Kekayaan Negara (PKN) II, DJKN, Kementerian Keuangan Suparyanto menambahkan, ada inpres No 8/2002 terkait dengan penyelesaian kewajiban pemegang saham ini yang memang secara prosedural sudah dilakukan. “Pengeluaran surat lunas sudah melalui prosedur tadi, di mana untuk SKLnya BDNI misalnya, itu skemanya adalah MSAA, di mana antara kewajiban obligor itu dibayar dengan sejumlah aset milik obligor yang diserahkan,” ucapnya.

Terkait aset tagihan, Suparyanto menyebutkan, pihaknya tengah mencari terobosan selain penyelesaian konvensional melalui lelang. Salah satunya adalah memanfaatkan aset yang dimiliki para obligor APU untuk dikembangkan sehingga menghasilkan pendapatan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan kewajiban para obligor. Menurutnya, langkah seperti ini bisa menjadi penyelesaian yang baik lantaran kewajiban obligor selesai, pulau pun tetap menjadi milik negara dan kita kembangkan untuk menghasilan pendapatan.

Sedangkan untuk aset berupa inventaris maupun saham diupayakan untuk dijual guna mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan oleh negara. Namun, khusus untuk aset tetap, terobosan telah diambil. Pelelangan aset tak lagi jadi prioritas. Aset tersebut justru disewakan baik langsung maupun melalui kerjasama. Hal ini terkait perubahan paradigma bahwa aset yang ada akan dimanfaatkan untuk memperoleh pendapatan negara berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Jumlah aset tetap ini sendiri berjumlah sekitar 4.000 unit. Aset ini meliputi properti baik rumah maupun gedung kantor, sawah, eks perkebunan kelapa sawit, hingga resort. Hingga kini, pengembalian atas aset eks BPPN dan eks PPA telah mencapai Rp7,7 triliun. Rinciannya, pada 2007, pengembalian aset mencapai Rp228,5 miliar. Di tahun berikutnya, pengembalian melonjak menjadi Rp1,55 triliun. Lalu kembali turun menjadi Rp273,79 miliar pada 2009.

Selanjutnya, pengembaliannya sebesar Rp561,29 miliar pada 2010, Rp1,04 triliun pada 2011, Rp1,13 triliun pada 2012, dan Rp1,44 triliun pada 2013. Pengembalian pada 2014 hingga 2016 secara berturut-turut adalah Rp539,99 miliar, Rp363,2 miliar dan Rp550,23 miliar. “Tiap tahun akan semakin turun seiring jumlah aset yang semakin sedikit dan perlu adanya perubahan paradigma untuk mendapatkan pendapatan negara dari aset dan bukan menjualnya,” tutup Suparyanto. (*)

Related Posts

News Update

Top News