Jakarta – Bank Indonesia (BI) menilai, nilai tukar rupiah yang kembali mengalami tekanan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari ini (17/9) lebih dipicu oleh ekspetasi pasar yang berlebihan terhadap defisit neraca perdagangan Indonesia di periode Agustus 2018.
Defisit neraca perdagangan periode Agustus 2018 yang sebesar US$1,02 miliar sebenarnya sudah menunjukkan perbaikan bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya, namun ekspetasi pasar melebihi dosis perbaikan itu, sehingga rupiah di pasar spot tertekan sepanjang perdagangan hari ini.
Asal tahu saja, pada perdagangan hari ini, nilai tukar rupiah di pasar spot dibuka melemah 56 poin atau 0,38 persen di level Rp14.863 per dolar AS. Sementara itu, pada sore ini, nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup melemah 73 poin atau 0,49 persen ke level Rp14.880 per dolar AS.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo di Jakarta, Senin, 17 September 2018 mengatakan, bahwa meskipun neraca perdagangan masih defisit, namun defisit neraca perdangan Agustus 2018 sebesar US$1,02 miliar sudah menurun dibanding Juli 2018 yang sebesar US$2,03 miliar.
“Harapan pasar mungkin lebih dari itu dan kita tentu lihat seperti tadi bahwa butuh waktu karena tidak bisa langsung impor dipotong. Kita lihat prosesnya ada progres bagaimana defisit itu dari neraca perdagangan lebih kecil,” ujarnya.
Baca juga: Rupiah Kian Melemah, Pemerintah Jangan Anggap Remeh Krisis
Lebih lanjut Dody mengungkapkan, bahwa penurunan defisit neraca perdagangan di bulan Agustus 2018 ini bisa berlanjut dan akan memperbaiki defisit transaksi berjalan di kuartal III 2018 (Juli-Agustus-September) ini.
Defisit perdagangan September 2018 ini diharapkan membaik signifikan karena penerapan bahan bakar biodiesel bercampur 20 persen minyak kelapa sawit (B20) yang akan menurunkan impor minyak dan di sisi lain meningkatkan nilai ekspor kelapa sawit seiring tingginya permintaan.
“Yang penting kita lihat sekarang sisi tekanan ke rupiah dari neraca perdagangan seharusnya membaik karena kita membandingkan dengan bulan lalu, kecuali estimasi pasar lebih rendah defisitnya,” ucapnya.
Menurutnya, Bank Sentral memiliki kajian penerapan B20 di semua sektor akan menurunkan impor minyak mentah hingga US$2,2 miliar kurun waktu September hingga Desember 2018. Selain itu B20 juga diharapkan akan menambah nilai ekspor sebesar empat hingga US$5 miliar.
Selain itu, tambah dia, nilai ekspor juga akan ditopang oleh dari mulai menggeliatnya volume ekspor tersebut. Dirinya mengklaim, seharusnya dunia usaha sudah memanfaatkan nilai rupiah yang melemah dalam beberapa waktu terakhir untuk meningkatkan nilai penjualan ekspor.
“Kita masih punya upaya agar ekspor lebih tumbuh, khusuanya ekpsor manufaktur. Harusnya dengan dorongan rupiah yang sudah terdepresiasi bisa jadi faktor untuk lebih kompetitif dari sisi ekspor,” tutupnya. (*)