Jakarta – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diminta untuk turut andil dalam mengaudit investigatif mengenai program-program pertanian seperti terkait program cetak sawah. Oleh sebab itu, sudah seharusnya, BPK sebagai auditor negara dapat menggandeng KPK untuk mengaudit dan menginvestigasi atas berbagai proyek di Kementerian Pertanian, utamanya soal perberasan.
“Seharusnya KPK harus turun tangan untuk menyelidiki kasus-kasus terkait program beras, seperti cetak sawah sampai bantuan kelompok tani ini,” ujar Direktur Eksekutif Center for Badget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi dalam keterangannya yang dikutip di Jakarta, Sabtu, 26 Agustus 2018.
Selain BPK, dirinya mendesakkan KPK harus bertindak serius. Apalagi, belakangan kasus cetak sawah mengemuka kembali. Menurutnya, jika program cetak sawah bermasalah pada tingkat petani maka patut diduga juga adanya permasalahan di Kementerian Pertanian. Apalagi, tak sedikit cetak sawah yang dibuat di titik-titik yang tidak memiliki sumber air untuk saluran irigasi.
“Kalau pogram bantuan kelompok tani ini bisa bocor di kelompok tani, beraerti akan lebih besar bocornya pada tingkat kementerian,” ucapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR, Viva Yoga Mauladi mengaku, pihaknya tengah melakukan evaluasi program cetak sawah baru. “Harusnya kalau cetak sawah baru itu dekat dengan sumber air, dekat mata air, dalam rangka untuk saluran irigasi tersier. Tapi (ada cetak sawah baru) itu tidak ada sumber air, tidak ada mata air, tidak ada sungai, dibangun. Artinya kan salah itu,” katanya.
Baca juga: Dana Desa Dinilai Belum Memihak Sektor Pertanian
Untuk itu, guna melakukan evaluasi dan pengawasan pelaksanaan program cetak sawah baru, pihaknya telah membentuk Panja Pengawasan Optimalisasi Lahan dan Cetak Sawah Baru. Evaluasi dan pengawasan program cetak sawah itu harus dilakukan, mengingat anggaran yang digunakan bersumber dari APBN, dan jangan sampai, penggunaan APBN itu tidak tepat sasaran.
“Kami di DPR banyak menerima aduan dari masyarakat mengapa lokasinya tidak tepat, tidak sesuai, tidak ada irigasi. Karena ini menyangkut APBN. Kami dalam rangka melakukan pengawasan, agar APBN efektif dan tepat sasaran,” paparnya.
Panja akan melakukan monitoring terkait dengan realisasi lapangan. Karena cetak sawah baru yang dibangun di lahan yang tidak memiliki sumber air merupakan kesalahan pemetaan dan data awal. “Kalau terjadi manipulasi, kecurangan, dan tidak sesuai dengan tugas pokok dan mekanisme seperti yang ada dalam ketentuan Kementan, akan kami laporkan dan proses evaluasi,” tukasnya.
Sementara terkait dengan luasnya lahan cetak sawah baru yang telah dilaporkan oleh Kementan, dia mengatakan, bahwa tidak semua cetak sawah itu berhasil. Hal itu juga diketahui saat Komisi IV DPR melakukan kunjungan kerja lapangan ke sejumlah titik koordinat cetak sawah baru. “Sekedar laporan, kita bisa menilai ada yang berhasil dan ada yang tak berhasil. Dari pemeriksaan memang ada yang berhasil dan tidak berhasil,” tuturnya.
Pengamat ekonomi pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Muhammad Firdaus menjelaskan, bahwa penambahan luas tanam baru merupakan salah satu upaya untuk menahan alih fungsi lahan yang semakin luas. Namun, sebelum membuat cetak sawah baru, diperlukan pemetaan yang jelas dan sesuai dengan peruntukkannya sebagai lahan pertanian produktif. “Dipetakan dulu potensi lahan sawahnya dimana,” ujar Firdaus.
Penambahan luas tanam baru sebaiknya dilakukan di luar Pulau Jawa. Namun, ketepatan penentuan titik lahan menjadi penting, karena berkaitan dengan masalah pengairan. Dibutuhkan juga investasi anggaran yang tidak sedikit oleh pemerintah untuk membuka cetak sawah baru, khususnya untuk sistem irigasi. “Karena ini biayanya tinggi. Karena kalau tanpa irigasi tidak akan mungkin juga,” tegasnya. (*)