Jakarta – Klaim Kementerian Pertanian (Kementan) akan amannya ketersediaan stok pangan di tengah ancaman kekeringan dinilai tidak berdasarkan data yang akurat. Pasalnya, kekeringan yang terjadi tahun ini diprediksi lebih parah dibanding tahun kemarin yang berpotensi bakal menurunkan produksi pangan hingga 60 persen.
“Masalah kekeringan ini perlu dicermati, perlu diwaspadai oleh pemerintah. Karena saat ini kami melakukan kajian yang mirip di jaringan kami. Data yang sebagian sudah terkumpul itu di Jawa Timur, itu yang terdampak kekeringan sekitar 15-50 persen Tapi, itu baru di sebagian wilayah,” ujar Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas, dalam keterangannya, di Jakarta, Selasa, 7 Agustus 2018.
Kekeringan tersebut terutama berdampak pada wilayah-wilayah yang memiliki infrastruktur irigasi yang minim, baik sawah tadah hujan maupun daerah yang infrastruktur irigasinya sudah berkurang. Berdasarkan berbagai data yang dikumpulkan, kekeringan tahun ini akan lebih parah dibandingkan dengan tahun lalu “Sehingga, akan memberikan ancaman terhadap produksi, terutama padi dan jagung,” ucapnya.
Dengan adanya kekeringan tersebut, kata Dwi, terjadi penurunan produksi antara 20-60 persen dibandingkan produksi pada masa normal. Namun, sebelum terjadi kekeringan, dirinya meragukan kebenaran data produksi dari Kementan, seperti produksi beras yang diklaim cukup besar pada Januari-Maret 2017 yang mencapai 15,6 juta ton. Rinciannya, produksi pada Januari sebesar 2,8 juta ton, Februari 5,4 juta ton, dan Maret 7,4 juta ton.
Namun, harga beras mencapai puncaknya pada Januari 2018. Dari data yang dikumpulkan AB2TI, harga gabah di tingkat petani bahkan mencapai Rp5.667 per kg. Angka ini melonjak dibandingkan Oktober sebesar Rp4.908 per kg. Harga kemudian melandai di bulan berikutnya, seiring demgan produksi beras yang semakin meningkat hingga mencapai Rp4.319 tiap kilonya pada April 2018.
“Januari itu kami melakukan studi, stok gabah petani di jaringan kami itu kosong sama sekali. Itulah mengapa harga di Januari tinggi. Lalu Februari itu baru mulai masuk masa puncak panen raya. Kalau di jaringan kami, puncak panen raya itu sekitar April,” kata Dwi.
Oleh sebab itu, hal ini menjadi pertanyaan jika disebutkan produksi mencapai surplus besar dari Januari-Maret 2018, di mana harga mencerminkan kurangnya produksi dibandingkan konsumsi. “Untuk saat ini, data produksi padi yang disampaikan Kementan sangat sulit diyakini kebenarannya, karena kami juga punya data terkait data panen paling tidak selama 17 tahun terakhir ini,” tegasnya.
Kurangnya akurasi data, telah menyebabkan kebijakan terkait beras menjadi tak tepat. Padahal, prediksi soal menyusutnya pasokan hingga menyebabkan lonjakan harga sudah disampaikan oleh pihaknya dari jauh-jauh hari. Prediksi tersebut disusun berdasarkan serangan hama di 19 kabupaten yang menyebabkan produksi akan lebih rendah dibandingkan 2016.
Tak sekali ini saja, sebelumnya pada 2015 hal serupa juga terjadi. Pada waktu itu, berdasarkan kajian yang dilakukan di 61 kabupaten penghasil beras, AB2TI sempat memprediksi produksi 2015 bakal lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, pada saat itu Kementan justru menyebutkan terdapat surplus 10 juta ton sehingga tidak ada tindakan pengamanan stok beras yang diambil.
Sementara itu, Badan Meterorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan sejumlah daerah telah mengalami Hari Tanpa Hujan (HTH) ekstrim atau lebih dari 60 hari, hingga daerah tersebut perlu diwaspadai terjadinya kekeringan. Daerah tersebut adalah Sape, NTB, yang tidak mengalami hujan selama 112 hari. Disusul Wulandoni, NTT, selama 103 hari. Bali 102 hari, Kawah Ijen, Jatim, 101 hari. Bangsri, Jateng, 92 hari. DIY tepatnya di Lendah dan Srandakan 82 hari.
Daerah lain yang juga perlu diwaspadai ancaman kekeringan karena hanya memiliki curah hujan rendah di bawah 55 milimeter, yaitu sebagian besar Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, sebagian Maluku Utara, bagian selatan Papua Barat dan Papua sekitar Merauke. BMKG pun memprediksi puncak musim kemarau akan terjadi pada Agustus dan September 2018.
“Terkait stok pangan, kita juga masih belum melihat apakah betul produksi panen pertama tahun ini, yakni Maret-Mei kemarin, bisa menggantikan penurunan produksi musim panen kali ini,” tutup Dwi. (*)