Jakarta – Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) dianggap masih berpotensi melemah sampai akhir Juni karena adanya potensi kenaikan suku bunga acuan acuan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed).
Hal tersebut disampaikan oleh Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara. Dirinya bahkan menyebut, kondisi tersebut diperparah dengan ekosistem perdagangan dunia yang masih bergejolak.
“Hasil rapat Fed kemarin mengisyaratkan median dot plot bergeser dari 2,25% ke 2,5% yang artinya kenaikan Fed rate tahun ini dikisaran 4 kali diatas ekspektasi pasar,” jelas Bhima ketika dihubungi oleh Infobank, Kamis 21 Juni 2018.
Bhima menambahkan, kondisi ini diperparah dengan eskalasi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China sehingga Indonesia sebagai pemasok bahan baku terkena dampak yang cukup signifikan apabila kedua negara mitra dagang tersebut mengurangi produksinya.
Baca juga: OJK Imbau Perbankan Antisipasi Kenaikan The Fed
Dirinya menyebut, respon Bank Indonesia (BI) untuk segera naikan bunga acuan memang cukup positif tenangkan pasar. Namun, bila kenaikan hanya 25 bps diperkirakan tidak akan mampu memulihkan rupiah dibawah Rp13.800 per dollar Amerika.
“Diperlukan langkah lain yang lebih terukur misalnya stimulus fiskal untuk dorong kinerja ekspor, atau dari sisi moneter setelah pelonggaran LTV properti juga bisa ditambahkan ke pelonggaran LTV kendaraan bermotor,” tambah Bhima.
Dirinya juga menyebut, semakin besar stimulus yang dilakukan BI dan Pemerintah efek ke ketahanan rupiah makin besar. Bahkan, dirinya memperkirakan rupiah sampai akhir Juni dapat menyentuh Rp14.200 per dollar Amerika jika langkah preemptives hanya sekedar naikkan bunga acuan.(*)