Oleh Paul Sutaryono
Jakarta – Pada medio Maret 2018, Presiden Joko Widodo mendesak bank untuk lebih deras menyalurkan kredit untuk menyuburkan pertumbuhan ekonomi. Bagaimana peran dan strategi bank dalam menyuburkan pertumbuhan ekonomi?
Dengan optimisme tinggi, pemerintah memasang target pertumbuhan ekonomi 5,4% pada 2018. Bank Indonesia (BI) menetapkan proyeksi pertumbuhan kredit perbankan 12%-14% pada 2018. Proyeksi itu lebih tinggi sedikit daripada proyeksi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 11%-12%.
Sepanjang 2017, kredit hanya tumbuh satu digit 8,30% dari Rp4.199,71 triliun per Desember 2016 menjadi Rp4.548,16 triliun per Desember 2017. Angka itu jauh berada di bawah target 11%-12% pada 2017. Dana pihak ketiga (DPK) tumbuh lebih subur 9,08% dari Rp4.630,36 triliun menjadi Rp5.050,99 triliun.
Pertumbuhan kredit dan DPK yang tidak seimbang itu mendorong penipisan loan to deposit ratio (LDR) dari 90,70% menjadi 90,04% di tengah ambang batas 78%-92%. Artinya, kredit yang disalurkan berbanding dengan DPK masih berada dalam ambang batas.
Aneka Peran dan Strategi
Lantas, peran dan strategi apa saja yang dapat dilakukan bank dalam mendorong pertumbuhan ekonomi?
Pertama, sejatinya pertumbuhan kredit itu mencerminkan kondisi kelesuan ekonomi saat ini. Kondisi semacam itu mengurangi daya beli masyarakat, terutama menengah ke bawah, sehingga menekan konsumsi rumah tangga yang hanya tumbuh 4,95%. Padahal, konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi paling besar 56% pada produk domestik bruto (PDB) daripada sektor lainnya, seperti investasi dan ekspor.
Hal itu membuat produk dan jasa sektor riil tidak maksimal yang menyebabkan permintaan kredit menipis. Subur tidaknya pertumbuhan kredit amat bergantung pada permintaan kredit oleh sektor riil dan penawaran kredit oleh bank. Artinya, bank tidak bisa memaksa sektor riil untuk segera meningkatkan permintaan kredit.
Akibatnya, bank menempatkan kelebihan likuiditas ke surat berharga. Data yang diterbitkan oleh OJK pada 19 Februari 2018 menunjukkan bahwa penempatan dana bank ke surat berharga mengalami kenaikan secara signifikan 20,32% dari Rp860,52 triliun per Desember 2016 menjadi Rp1.035,34 triliun per Desember 2017.
Surat berharga itu terdiri atas Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang turun drastis 79,29% dari Rp96,10 triliun menjadi Rp19,90 triliun dan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) yang melesat 70,02% dari Rp31,35 triliun menjadi Rp53,30 triliun. Sementara itu, obligasi meningkat 13,49% dari Rp561,96 triliun menjadi Rp637,77 triliun dan surat berharga lainnya terbang tinggi 89,57% dari Rp171,10 triliun menjadi Rp324,36 triliun pada periode yang sama.
Untuk memompa pertumbuhan kredit, BI melonggarkan giro wajib minimum (GWM) 6,5% dari DPK dan porsi GWM rata-rata (GWM averaging) dari 1,5% menjadi 2% dari DPK yang berlaku efektif 16 Juli 2018. Aturan itu merupakan kelanjutan dari reformasi kebijakan moneter yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter, mendukung fleksibilitas manajemen likuiditas perbankan, dan mempercepat pendalaman pasar keuangan.
Pelonggaran itu akan menambah likuiditas perbankan Rp20 triliun untuk mendorong bank agar lebih kencang mengucurkan kredit. GWM merupakan dana minimum yang wajib dipelihara bank yang jumlahnya ditetapkan oleh bank sentral. Jangan lupa, GWM berfungsi untuk memengaruhi ekonomi, pinjaman dan suku bunga.
Kedua, pertumbuhan kredit perbankan kepada pihak ketiga bukan bank yang mencapai 8,30% atau Rp4,548,16 triliun itu meliputi kredit konsumsi, kredit modal kerja, dan kredit investasi. Kredit konsumsi tumbuh paling subur 11,02% yang diikuti kredit modal kerja 8,48% dan kredit investasi 4,82%.
Angka pertumbuhan itu menyiratkan bahwa sektor riil masih belum dapat menggeber produk dan jasa mereka hingga mencapai kapasitas penuh. Kondisi itu tercermin dari kredit yang telah disetujui tetapi belum disetujui (undisbursed loan) yang naik signifikan 29,00%. Hal itu menuntut bank untuk meningkatkan fungsi intermediasi keuangan. Tegasnya, bank harus ekspansif.
Ketiga, bank perlu menggenjot kredit ke segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang selama ini tahan banting terhadap krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1997/1998. Terlebih tahun 2018 merupakan tahun UMKM. Mengapa? Lantaran tahun ini merupakan batas akhir bagi bank untuk menyalurkan kredit ke UMKM minimal 20% dari kredit produktif (kredit modal kerja dan investasi). Hal itu tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/22/PBI/2012.
Lirik saja data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) menunjukkan terdapat 57,89 unit UMKM pada 2013 yang terdiri atas 57,19 juta unit usaha mikro, 654,22 ribu unit usaha kecil, dan 52,11 juta unit usaha menengah. Usaha mikro paling tinggi dalam memberikan kontribusi terhadap PDB yang mencapai 60,34% yang disusul usaha kecil 36,90% dan usaha menengah 13,72%.
Bahkan, UMKM mampu menyerap 100 juta tenaga kerja, tepatnya 114,14 juta orang, yang meliputi usaha mikro 104,62 juta orang, usaha kecil 5,57 juta orang, dan usaha menengah 3,95 juta orang. Data itu menyiratkan segmen UMKM merupakan ladang yang sarat rezeki bagi perbankan.
Untuk merangsang pertumbuhan kredit lebih tinggi lagi, BI telah melonggarkan batas atas LDR dari 92% menjadi 94%. Insentif itu diberikan dengan syarat bank telah memenuhi kewajiban pengucuran kredit ke UMKM minimal 20% dengan rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) di bawah 5%.
Penyaluran kredit ke segmen UMKM mungkin tampak mudah bagi bank kecil, tetapi tidak mudah bagi bank besar seperti bank umum kegiatan usaha (BUKU) 3 dengan modal inti Rp5 triliun hingga Rp30 triliun dan BUKU 4 dengan modal inti di atas Rp30 triliun. Mengapa? Karena, BUKU 3 dan 4 tidak memiliki kompetensi untuk menyalurkan kredit ke UMKM.
Apa akibatnya? Bank papan menengah ke atas akan menggandeng bank kecil atau bank perkreditan rakyat (BPR) dengan berbagi margin. Pola kerja sama semacam itu membuahkan kredit chanelling. Tak berhenti di situ. Bank papan menengah ke atas akan mampu menyalurkan kredit minimal 20% ke UMKM, sedangkan bank papan bawah akan memperoleh margin yang legit. Di sinilah tercipta solusi sama-sama enak (win-win solution).
Keempat, selain itu, bank patut menggeber kredit ultra mikro (UMi). Pemerintah telah menyediakan dana Rp3,24 triliun dengan target penerima dana lebih dari 800.000 debitur pada 2018. Pembiayaan dilakukan tiga badan usaha milik negara (BUMN), yaitu PT Pegadaian, PT Bahana Ventura, dan PT Permodalan Nasional Madani (PNM), dengan plafon kredit di bawah Rp10 juta dan tingkat bunga 2%-4%.
Sudah semestinya bank pembangunan daerah (BPD) dan BPR dapat ikut menyalurkan kredit UMi karena merekalah sang pemilik debitur sektor mikro dan kecil.
Bank juga amat diharapkan dapat mendampingi UMi dan UMKM. Bagaimana caranya? Bank tidak hanya menyalurkan kredit, tetapi juga wajib membagi pengetahuan praktis mengenai penyusunan laporan keuangan, manajemen risiko, kepatuhan (compliance), dan transaksi ekspor impor. Upaya itu dapat mendorong UMi dan UMKM agar lebih cepat naik kelas. Inilah upaya membangun ekonomi dari pinggir.
Sesungguhnya upaya itu merupakan langkah strategis dalam menumbuhkan ekonomi kerakyatan yang tahan terhadap krisis ekonomi. Salah satu sebabnya, sebagian besar UMKM dan UMi tidak memiliki eksposur dalam valuta asing (valas) sehingga bebas risiko (risk free) dari depresiasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, terutama dolar Amerika Serikat.
Upaya menyuburkan pertumbuhan ekonomi dari pinggir itu juga dapat diperkuat koperasi yang telah berhasil membangun ekonomi anggotanya. Sayang, koperasi belum menunjukkan pilar ekonomi kerakyatan yang sesungguhnya.
Penggalakkan lembaga keuangan mikro syariah yang bertajuk Bank Wakaf Mikro di berbagai daerah menjadi pilar utama lainnya dalam membangun ekonomi kerakyatan. Bank Wakaf Mikro itu amat diharapkan dapat menyediakan akses permodalan atau pembiayaan bagi masyarakat yang belum terhubung dengan lembaga keuangan formal.
Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Namun, di lapangan, LKM tetap belum menjadi salah satu pilar untuk mengembangkan ekonomi dari pinggir. Padahal, LKM amat dibutuhkan masyarakat bawah. Inilah tantangan berat bagi pemerintah untuk lebih memberdayakan LKM ke depan sehingga segmen usaha kecil dan mikro lebih terlindungi dari serangan rentenir.
Kelima, bank pun wajib mengucurkan kredit sektor yang menyerap banyak tenaga kerja, seperti sektor pertanian yang menyerap 31,86%, perdagangan 23,37%, dan manufaktur 20,49% tenaga kerja. Ketiga sektor itu sanggup menyerap 75,72% dari seluruh tenaga kerja pada 2017 (Badan Pusat Statistik/BPS). Hal itu dapat menekan tingkat pengangguran terbuka yang mencapai 5,5% per September 2017.
Keenam, meski harus ekspansif, bank tetap wajib meningkatkan kualitas kredit. Bagaimana caranya? Melakukan mitigasi risiko kredit dengan lebih selektif dalam mengucurkan kredit dan mematuhi semua aturan. Itu bertujuan untuk menekan NPL 2,59% per Desember 2017.
Aneka peran dan strategi demikian amat diharapkan dapat mendorong bank dalam menyuburkan pertumbuhan ekonomi nasional.(*)
Penulis adalah pengamat perbankan.