Jakarta – Pasar yang sedang berkembang telah menjadi kekuatan utama dalam mendorong pembangunan dan memerangi perubahan iklim. Hal tersebut dapat terwujud karena 34 negara termasuk Indonesia telah memulai reformasi perbankan nasional dengan memperluas jangkauan pinjaman berkelanjutan.
Menurut Laporan Perkembangan Global Berkelanjutan Pertama dari Sustainable Banking Network, sebuah organisasi regulator dan asosiasi perbankan yang didukung oleh IFC, ke-34 negara tersebut menyumbang US$42,6 triliun aset bank, yang merupakan lebih dari 85 persen dari total aset bank di pasar negara berkembang.
Ke-34 negara tersebut telah menunjukan perkembangan dalam memajukan keuangan berkelanjutan. Delapan negara seperti Bangladesh, Brasil, Cina, Kolombia, Indonesia, Mongolia, Nigeria, dan Vietnam telah mencapai tahap lanjut, setelah menerapkan reformasi berskala besar dan menerapkan sistem pengukuran hasil.
Reformasi ini, menurut Wakil Presiden IFC untuk Legal, Risiko Kepatuhan dan Keberlanjutan, Ethiopis Tafara, mensyaratkan perbankan untuk melakukan asesmen dan melaporkan dampak sosial dan lingkungan, dalam proses pinjaman. Dalam prosesnya, juga memberikan insentif pasar terhadap bank yang memberikan pinjaman kepada proyek hijau.
“Kemajuan ini merupakan langkah penting untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan pada tahun 2030,” ujar Ethiopis Tafara dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Selasa, 27 Februari 2018.
Hal ini menunjukkan, negara-negara miskin pun bisa menerapkan reformasi keuangan yang berkelanjutan. Dalam waktu yang singkat, jaringan Perbankan Berkelanjutan (Sustainable Banking Network) telah menunjukkan pencapaian yang cukup signifikan, ketika regulator, pembuat kebijakan, asosiasi perdagangan dan institusi pembangunan berkolaborasi untuk memajukan keuangan yang berkelanjutan.
Baca juga: Perbankan Nasional Harus Siap di Negeri Orang
Dia menjelaskan, laporan ini memberikan indikator dan alat praktis bagi negara-negara tersebut, untuk mengajukan permohonan ke pasar domestik mereka sendiri, terlepas dari ukuran atau tahap perkembangannya. Hal ini penting karena memfasilitasi pembelajaran oleh semua anggota dan mempercepat laju perubahan.
Selain itu, hal ini juga didasarkan pada pendekatan pengukuran hasil inovatif yang telah disepakati oleh 34 negara anggota. Sebuah pencapaian luar biasa dan merupakan terobosan baru untuk mengukur kemajuan di tingkat global. “Tujuan dari laporan ini adalah untuk memberikan informasi praktis kepada negara anggota SBN untuk membantu mereka mengembangkan kebijakan publik,” ucapnya.
Laporan tersebut secara positif menggarisbawahi Roadmap Keuangan Berkelanjutan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mencakup 19 kegiatan jangka menengah dan panjang yang akan dilaksanakan antara tahun 2015 dan 2024. Payung hukum Keuangan Berkelanjutan yang dirilis pada bulan Juli 2017 merupakan tonggak utama dari Roadmap.
Dalam kebijakan tersebut diperkenalkan persyaratan seperti penyusunan rencana aksi keuangan berkelanjutan dan pelaporan keberlanjutan untuk bank terbesar. OJK juga telah menetapkan sejumlah inisiatif untuk mendukung penerapan lebih lanjut praktik berkelanjutan di seluruh sektor perbankan, termasuk pembentukan Forum Keuangan Berkelanjutan dan Penghargaan Keuangan Berkelanjutan tahunan.
Kebijakan baru tersebut mencakup seluruh sektor keuangan, termasuk lembaga non-perbankan, dana pensiun dan asuransi. Dalam laporan tersebut juga memberikan panduan praktis untuk membantu institusi keuangan dalam mengelola risiko sosial dan lingkungan yang spesifik dalam aktivitas mereka. Panduan seperti definisi, alat dan metodologi juga dapat mendorong arus keuangan hijau.
Laporan tersebut juga mengarah pada pengembangan insentif fiskal dan non-fiskal untuk institusi-institusi keuangan dan meningkatkan kemampuan internal untuk memantau pelaksanaan Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan yang dihasilkan oleh perbankan. (*)