Jakarta–Oktober, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data Indeks harga konsumen (CPI) deflasi -0,08% MoM. Inflasi inti turun menjadi 5,02% YoY pada Oktober dari 5,07% YoY pada September. Deflasi juga tercatat pada bulan September yang tercatat 0,05%. Dengan kondisi tersebut, pengamat memperkirakan tahun ini inflasi bisa mencapai target Bank Indonesia (BI) yaitu di kisaran 4%. Seperti diketahui, tahun ini BI menargetkan inflasi 4+/-1%.
Namun, apakah ini merupakan pertanda bahwa bank sentral dapat melonggarkan kebijakan moneternya? Pada Rapat Dewan Gubernur 15 Oktober lalu, BI membuka peluang melonggarkan kebijakan moneternya jika tekanan mereda. Kepala Departemen Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI Juda Agung ketika itu mengungkapkan, ada tiga faktor yang menunjukkan risiko stabilitas ekonomi makro mereda.
“Pertama inflasi, perkiraan kami di akhir tahun ini akan berada di bawah titik tengah 4%,” kata Juda dalam Konferensi Pers di Jakarta, beberapa waktu lalu. Dia memperkirakan, untuk Oktober ini saja diperkirakan kembali deflasi, sehingga akhir tahun inflasi diperkirakan di bawah 4%.
Faktor kedua, Defisit Transaksi Berjalan diperkirakan lebih rendah dari perkiraan sebelumnya menjadi di level 2%. Faktor ketiga adalah kemungkinan penundaan normalisasi The Fed. Ini diindikasikan oleh arus modal masuk (inflow) yang kembali menguat. Per 12 Oktober, inflow portofolio tercatat US$249 juta, terdiri atas inflow di pasar saham yang sebesar US$174 juta dan di Surat Utang Negara (SUN) yang tercatat US$75 juta.
Namun, tak lama kemudian, Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo mengungkapkan keraguan bank sentral atas meredanya tekanan. Kendati faktor domestik diniali membaik, BI masih mewaspadai tekanan eksternal. “Jadi yang tadi saya katakan, perkembangan di AS, di Tiongkok, dan harga commodity harus kita waspadai. Dan kita tidak boleh sampai tidak hati-hati karena stabilitas itu utama karena bagi terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang kuat, seimbang, yang berkesinambungan,” kata Agus belum lama ini.
Tim Riset Mandiri Sekuritas, sepakat, secara keseluruhan tahun inflasi dapat lebih rendah daripada prediksi mereka yaitu 4,8% untuk 2015. Dengan asumsi inflasi November dan Desember 2015 sejalan dengan prediksi, inflasi 2015 dapat berada di bawah 4% (inflasi terendah sejak 2009).
Sayangnya, Aldian Taloputra, Analis Mandiri Sekuritas menilai dengan kondisi defisit neraca berjalan seperti sekarang, atau lebih rendah daripada ekspektasi, BI tak memiliki ruang untuk memangkas BI Rate tahun ini?
“Meskipun risiko dalam negeri dan eksternal sudah berlanjut mereda, risiko volatilitas Rupiah masih tetap ada di tengah ketidakpastian global. Karena itu, kami memprediksi BI rate masih tidak berubah pada 7,5% tahun ini dengan kemungkinan pemangkasan 50 bps tahun depan,” kata dia dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, hari ini, Selasa, 3 November 2015
Senada, Glenn Maguire, Chief Economist, South Asia, ASEAN & Pacific mengatakan kendati deflasi diperkirakan masih akan berlanjut pada November hingga Desember di kisaran 0,1% mtm karena penurunan harga makanan dan penundaan kenaikan tarif listrik, namun secara keseluruhan tahun inflasi diperkirakan di atas target BI. Glenn memperkirakan inflasi November di bawah 5% yoy, dan di atas 2% pada Desember.
Dia juga memperkirakan inflasi 2016 akan di batas atas target BI, sulit bagi BI untuk melonggarkan kebijakan moneternya dalam situasi ini, meski diakunya dinamika pertumbuhan mungkin bisa lebih persuasif. Masih ada data pertumbuhan GDP kuartal ketiga untuk melihat apakah pertumbuhan makin melambat, domestic output gap dan dampaknya pada inflasi, dan apakah nilai tukar stabil kembali.
“Saat ini nampaknya hanya ada sedikit ruang untuk pelonggaran kebijakan di Desember, meski BI mengungkapkan kemungkinan pelonggaran tersebut pada kuartal I dan II,” tandasnya. (*)