Surabaya – Dalam menghadapi persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial, negara harus berperan aktif untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Bukan berarti seluruh lapisan masyarakat bahkan hukum dan aturan agama tidak bisa ikut andil dalam upaya mengentaskan kemiskinan dan ketimpangan. Dalam hal ini Wakaf merupakan salah satu instrumen ekonomi untuk mensejahterakan masyarakat.
Besarnya jumlah umat muslim di Indonesia ini juga bermakna besarnya potensi wakaf yang ada di Negeri ini. Dengan demikian maka wakaf dapat dijadikan salah satu alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mampu memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perekonomian Indonesia. Pasalnya, potensi tanah wakaf di Indonesia sangatlah besar untuk dimanfaatkan.
Badan Wakaf Indonesia (BWI) mencatat, masih banyak tanah wakaf yang belum dimanfaatkan alias nganggur. Setidaknya, luas tanah wakaf di Indonesia diperkirakan mencapai 420 ribu hektare dengan estimasi nilai Rp2.100 triliun. Hal tersebut tentu menjadi potensi tersendiri untuk bisa memanfaatkan tanah wakaf nganggur yang luasnya mencapai ratusan ribu hektare itu.
Tidak hanya tanah nganggur, pemahaman Nazir (pengelola zakat) juga menjadi penyebab belum optimalnya tanah wakaf. Misalnya Nazir yang menukar tanah di kawasan strategis dengan tanah di wilayah yang terpencil. Contohnya saja ada tanah di kawasan Rasuna Said, Jakarta Selatan yang senilai Rp300 miliar, namun uma membukukan pendapatan Rp200 juta per tahun.
“Ukuran tanahnya bisa jadi sama, tapi potensi ekonominya turun. Ini tentu merugikan,” ujar Waqf Management & Empowerment Division Badan Wakaf Indonesia Robbyantono.
Oleh sebab itu, agar tidak terjadi hal-hal tersebut, maka diperlukan terobosan dari pemerintah dan regulator terkait. Misalnya dengan membentuk aturan mengenai sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) pada tanah wakaf dalam periode tertentu. Selain itu, pemerintah juga bisa memberikan insentif kepada perusahaan negara (Badan Usaha Milik Negara/BUMN) yang ingin mengembangkan tanah wakaf.
Adapun insentif yang dimaksud bisa berupa Penambahan Modal Negara (PMN). Dengan begitu likuiditas BUMN lebih memungkinkan dalam mengembangkan tanah wakaf yang selama ini nganggur. “Pemerintah sejak awal harus menegaskan bahwa PMN ini untuk utilisasi aset-aset wakaf yang masih sangat besar potensinya,” ucapnya.
Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) bersama Badan Wakaf Indonesia juga masih menyusun strategi agar potensi wakaf bisa dioptimalkan. Sejak tahun lalu, strategi disusun dalam Waqf Core Principles. “Kita sudah membuat kesepakatan dengan BI untuk bersama mematangkan wakaf core principal, yaitu aturan pokok dalam pengelolaan wakaf. Ini penting karena memang kita belum punya aturan,” tambah Ketua Divisi Luar Negeri BWI Muhammad Lutfi.
Diharapkan dengan adanya tata kelola wakaf tersebut, bisa menjadi acuan dalam pemanfaatan wakaf baik di skala nasional maupun regional. Terlebih dalam ajang Indonesia Shari’a Economic Festival (ISEF) 2017 yang diselenggarakan BI, pedoman pengelolaan aset wakaf ini kembali dimatangkan dengan mengundang 50 nazir (pengelola wakaf) dalam negeri serta tiga nazir dari luar negeri, yakni dari New Zealand, Afrika Selatan, juga Bosnia.
Dalam mematangkan pedoman pengelolaan aset wakaf ini, para nazir membahas terkait dengan penetapan regulasi dan masalah hukum seputar aset wakaf, tata kelola yang baik, serta standar-standar regulasi. “Kami bekerjasama dengan BI dan juga lembaga riset di bawah Islamic Develoment Bank, dan lembaga wakaf di Kuwait, untuk kesekian kalinya kita ingin berdayakan potensi wakaf secara maksimal,” jelasnya.
Potensi wakaf di Indonesia cukup besar. Diharapkan, dengan lahirnya Wakaf Core Principal bisa membuat wakaf dikelola secara maksimal dan bisa dipertanggungjawabkan serta mengikuti dinamika zaman. Tanah wakaf dapat dikembangkan dan dikelola menjadi gedung perkantoran, perkebunan, mal dan lainnya. Pemanfaatan tanah wakaf terus didorong agar lebih produktif demi kepentingan umat. Sebab tak sedikit tanah wakaf berada di lokasi yang strategis dan memiliki nilai yang tinggi. (*)