Jakarta — Pada beberapa waktu lalu, masyarakat dikagetkan dengan tutupnya gerai usaha ritel Lotus Departemen Store. Tutupnya gerai tersebut akibat dari sepinya pembeli dan biaya operasional yang tinggi sehingga pihak Lotus mengalami kerugian.
Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali menilai, kejadian tersebut merupakan fenomena global d imana bukan hanya negara Indonesia saja yang mengalaminya. Dirinya juga menilai, kejadian tersebut akibat dari digitalisasi para pelaku bisnis.
“Ini tren dunia bukan di Indonesia saja. Saya membaca berita internasional, Radio Shack di AS menutup 1.643 toko, Gymboree tutup 150 toko, Walmart dan Meses pun senasib menutup cukup banyak toko. Di Hong Kong mulai diperkecil toko-tokonya, dan di Singapura mulai berubah,” kata Rhenald di Jakarta, Jumat 27 Oktober 2017.
Baca juga: Pemerintah dan Pengusaha Harus Berbenah Hadapi Teknologi Disruptif
Dirinya juga menyebut, penutupan bisnis ritel bukan karena daya beli masyarakat yang melemah namun karena adanya peralihan pola konsumsi masyarakat dari offline ke online. Rhenald menambahkan, melalui aplikasi belanja online masyarakat semakin mudah untuk mendapatkan barang tanpa harus bersusah payah mendatangi toko fisik.
“Sekarang masyarakat punya marketplace sendiri, seperti Bukalapak, Tokopedia, OLX. Orang dan perusahaan bisa beli apa saja lewat marketplace ini. Jadi ada alat-alat baru yang membuat masyarakat beralih ke sana dan tidak ke toko konvensional lagi,” ungkap Rhenald.
Rhenald juga mengimbau kepada para pelaku ritel maupun pelaku usaha lain agar dapat mengantisipasi peralihan pola konsumsi masyarakat tersebut. Selain itu dirinya juga mengimbau para pelaku usaha agar tidak panik dan terus berinovasi. (*)