Jakarta – World Bank (Bank Dunia) telah merilis framework mengenai optimalisasi dan investasi infrastruktur gas di Indonesia. Dalam hal ini, World Bank merekomendasi pemerintah untuk menyelesaikan proses akuisisi atau penggabungan perusahaan besar gas Indonesia yakni Perusahaan Gas Negara (PGN) dengan Pertagas.
Seperti dikutip dari riset World Bank di Jakarta, menyebutkan, rekomendasi World Bank untuk penggabungan PGN dengan Pertagas sejalan dengan Indonesia yang saat ini butuh perusahaan gas besar dan kuat, agar bisa fokus mendukung pembangunan ekonomi Indonesia.
Menurut World Bank, terdapat poin-poin rekomendasi mengenai industri gas di tanah air. Diantaranya, Bank Dunia mengutarakan agar pemerintah segera membenahi kriteria seleksi investasi jaringan pipa. Selain itu, Bank Dunia juga mengungkapkan agar pemerintah melakukan revisi struktur tarif dasar gas.
Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan daya saing dan memberi efisiensi. Adapun poin penting rekomendasi Bank Dunia lainnya adalah melakukan Rasionalisasi strategi FSRU dengan tujuan membangun lebih sedikit terminal besar. Serta, menyelesaikan proses merger alias penggabungan perusahaan besar PGN dengan Pertagas.
Sementara itu, Pengamat Energi dan Mineral Universitas Indonesia Berly Martawardaya menilai, semakin cepat pemerintah menyelesaikan penggabungan atau akuisisi Pertagas oleh PGN ini, maka akan banyak hal positifnya.
“Misalnya, kalau yang namanya pembelian pipa itu dilakukan dua perusahaan dan pembangunan infrastrukturnya itu kan mahal. Berbeda dengan satu perusahaan yang terintegrasi. Jadi kalau double perusahaan yang membangun itu (PGN dan Pertagas) itu akan menelan biaya yang mahal dan tidak efektif,” ujarnya kepada wartawan, di Jakarta, Kamis, 1 Juni 2017.
Dia menegaskan, pemerintah bisa memiliki perusahaan gas yang kuat jika proses merger segera dilaksanakan segera. “Ini juga untuk meminimalisir cost sih sebetulnya, jadi memang harus segera disatukan. Ribet juga kalau ada perusahaan atau investor yang akan bangun infrastruktur gas, terus urusannya ke dua perusahaan itu. Mahal sekali,” imbuhnya.
Target mergernya pun harus diputuskan. Menurut dia, minimal paling lambat tahun depan, dan tahun 2017 ini persiapan untuk segera pembahasan dan penyelesaian. Sehingga di tahun 2018, perusahaan yang merger sudah bisa beroperasi. “Paling lambat tahun depan. Karena kan 2019 sudah tahun Pemilu ya. Takutnya nanti pemerintah enggak sempat bahas dan ini jadi terbengkalai lagi,” ucapnya.
Mengenai rencana penggabungan PGN dengan Pertgas sebenarnya sudah dikaji sejak lama. Hal ini berawal dari keprihatinan Presiden atas harga gas di dalam negeri yang relatif mahal, terutama gas untuk industri. Lantas, Presiden memerintahkan agar Pertagas diambil alih oleh PGN.
Bahkan, sampai awal November 2015, skema PGN mengambil alih Pertagas masih hidup dan tercantum dalam Roadmap Sektor Energi Kementerian BUMN. Namun tiba-tiba Kementerian BUMN memunculkan skema induk BUMN energi yang tak lama kemudian berubah nama menjadi industri BUMN Migas (Holding Migas). (*)