SEMAKIN berkembangnya perekonomian Indonesia membuat segmen kelas menengah semakin besar. Masyarakat kelas menengah sendiri tidak lagi memusingkan pendapatannya akan habis untuk kebutuhan sehari-hari. Namun mulai berpikir untuk menyisihkan pendapatannya untuk investasi.
Semakin besarnya kelas menengah tidak bisa dimungkiri akan membuat minat investasi di Indonesia semakin besar. Potensi ini sayangnya tidak cuma dilirik oleh lembaga jasa keuangan formal, namun juga para pelaku kejahatan penipuan. Berbagai kasus penipuan dengan kedok investasi ilegal pun bermunculan. Kasus Pandawa Group dan PT CSI adalah beberapa kasus yang ramai dibicarakan, karena korbannya juga cukup banyak.
Iming-iming imbal hasil atau return (bunga) tinggi berhasil menjerat calon investor menjadi korban investasi ilegal. “Batas kewajaran seperti suku bunga deposito atau imbal hasil dari obligasi sekitar 5-10 persen dalam setahun. Kalau ditawari imbal hasil 4 persen per bulan, setahun 48 persen. Ini harus di waspadai,” tegas Anggota Dewan Komisioner OJK bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Kusumaningtuti S. Soetiono beberapa waktu lalu.
Ketidaktahuan masyarakat memang membuat pelaku kejahatan leluasa melakukan aksinya. Untuk itu, dalam menangkal investasi ilegal, masyarakat perlu mengetahui seperti apa ciri investasi ilegal.
Seperti dinukil dari situs OJK, ciri utama penipuan berkedok investasi atau ciri invetasi ilegal adalah tidak dimilikinya dokumen perizinan yang sah dari regulator (pengawas) terkait seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia, Bappebti – Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UKM, dan lain-lainnya. (Bersambung ke halaman berikutnya)