Kondisi perbankan saat ini dinilai sudah jauh lebih baik ketimbang sebelum krisis moneter 1998, namun demikian LPS diharapkan tetap bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Paulus Yoga
Jakarta–Tahun 1998, industri perbankan terpuruk seiring dengan hilangnya kepercayaan nasabah yang terkonfirmasi lewat penarikan dana simpanan secara masif atau yang lebih dikenal dengan istilah rush. Hal ini terjadi menyusul dilikuidasinya 16 bank pada 1 November 1997, industri perbankan nasional masuk dalam periode tergelapnya.
Dalam menjaga kepercayaan nasabah dan mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan di antaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee). Sayangnya kebijakan ini justru banyak disalahgunakan baik oleh pengelola perbankan pun masyarakat. Sehingga agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah penyimpan serta menjaga stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas lingkupnya tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas. Kemudian dirilislah Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat.
17 tahun lewat krisis moneter di Indonesia, industri keuangan berbenah. Pemerintah telah menghadirkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) lewat UU Nomor 24 Tahun 2004 Tentang LPS. Kehadiran LPS sendiri memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga kepercayaan nasabah terhadap industri perbankan.
Beberapa poin yang ditekankan dalam UU tersebut adalah, bahwa untuk menunjang terwujudnya perekonomian nasional yang stabil dan tangguh, diperlukan suatu sistem perbankan yang sehat dan stabil. Bahwa untuk mendukung sistem perbankan yang sehat dan stabil diperlukan penyempurnaan terhadap program penjaminan simpanan nasabah bank. Maka dari itu dibentuklah LPS, sebagai lembaga penjaminan dana simpanan nasabah di Indonesia.
LPS yakin kondisi perbankan saat ini masih sangat kuat dan jauh lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi krisis tahun 1998. Lalu dengan aset LPS mencapai Rp60 triliun, Pelaksana Tugas Kepala Eksekutif LPS Fauzi Ichsan mengatakan, pihaknya masih sanggup menangani satu hingga dua bank gagal. “Kalau tiga bank atau lebih kita lihat lagi nanti,” katanya di Jakarta, belum lama ini.
Ia menegaskan, dilihat dari indikator seperti rasio kecukupan modal (CAR) dan rasio kredit bermasalah (NPL) perbankan yang masih di level aman, LPS masih sangat optimis dengan kondisi perbankan. Angka CAR perbankan saat ini menurut Fauzi, bahkan merupakan yang terbesar sepanjang sejarah di kisaran 20%, sedangkan dari sisi NPL masih di bawah 3%. Pertumbuhan total simpanan per Juli 2015, dicatat LPS mengalami peningkatan dari bulan sebelumnya sebesar Rp3,68 triliun atau 0,08% (dalam sebulanan). Peningkatan ini menjadikan total simpanan per akhir Juli 2015, mencapai Rp. 4.415,36 triliun.
Kemenangan Nasabah
Kehadiran LPS pada 22 September 2005 merupakan kemenangan para deposan, terutama pemilik simpanan kecil, karena LPS hanya memberikan penjaminan uang kembali maksimal Rp2 miliar asalkan memenuhi kriteria simpanan layak bayar yang dikampanyekan dengan singkatan 3T. Adapun 3T tersebut adalah Tercatat dalam pembukuan bank; Tidak melakukan tindakan yang merugikan bank; serta Tingkat bunga simpanan tidak melebihi tingkat bunga penjaminan.
Adapun tingkat bunga penjaminan saat ini adalah 7,75% untuk simpanan Rupiah di bank umum, atau 10,25% di Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan 1,50% untuk simpanan valas di bank umum.
Dalam menetapkan tingkat bunga penjaminan, LPS mempertimbangkan perkembangan kondisi perekonomian dan kinerja perbankan terkini. Sekretaris LPS, Samsu Adi Nugroho menjelaskan, masih adanya ketidakpastian global karena potensi kenaikan Fed Fund Rate membuat para pelaku pasar dan otoritas moneter di seluruh dunia bersikap pasif (wait and see). Menurutnya, pertumbuhan dana pihak ketiga dan kredit, serta rasio LDR memperlihatkan likuditas perbankan yang masih longgar. Sementara rencana pemerintah untuk mempercepat belanja anggaran di semester II diharapkan juga akan memberikan efek positif terhadap likuiditas perbankan, serta pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS yang masih belum stabil akan menjadi faktor penting yang mempengaruhi tingkat bunga simpanan perbankan di masa yang akan datang.
“Sesuai ketentuan LPS, apabila suku bunga simpanan yang diperjanjikan antara bank dengan nasabah penyimpan melebihi Tingkat Bunga Penjaminan simpanan, maka simpanan nasabah dimaksud menjadi tidak dijamin. Berkenaan dengan hal tersebut, bank diharuskan untuk memberitahukan kepada nasabah penyimpan mengenai Tingkat Bunga Penjaminan simpanan yang berlaku dengan menempatkan informasi dimaksud pada tempat yang mudah diketahui oleh nasabah penyimpan,” papar Samsu.
Sejalan dengan tujuan untuk melindungi nasabah dan memperluas cakupan tingkat bunga penjaminan, LPS mengimbau agar perbankan lebih memperhatikan ketentuan tingkat bunga penjaminan simpanan dalam rangka penghimpunan dana. Dalam menjalankan usahanya, bank hendaknya memperhatikan kondisi likuiditas ke depan. Dengan demikian, bank diharapkan dapat pula mematuhi ketentuan pengelolaan likuiditas perekonomian oleh Bank Indonesia, serta pengaturan dan pengawasan perbankan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Namun pertanyaannya, apakah semua nasabah mengetahui adanya penjaminan dari LPS ini? Sayangnya tidak, sebut saja Alfi, pegawai swasta berusia 26 tahun pemilik dua rekening bank ini menyebut LPS sebagai Lembaga Pinjam Simpan, dan memaparkan bahwa tugasnya memberikan penilaian kira-kira bank mana yang aman untuk nasabah menyimpan uang.
Setali tiga uang, Adi, pria berusia 30 tahun yang sangat mengidolai Roberto Baggio (legenda sepak bola Italia) ini mengaku, tidak mengetahui apa LPS, apa fungsi dan perannya. Pemilik dua rekening bank ini mengklaim memang jarang menyambangi kantor cabang. “Enggak pernah urus-urus ke bank. Paling kalau ATM (kartu) ketelan (mesin ATM),” ucapnya pendek.
Masih dengan nada yang sama, Laura, perempuan berusia 22 tahun pemilik dua rekening bank besar ini malah jujur tidak memiliki gambaran soal LPS. Namun demikian, kala memutuskan untuk mencari tahu lewat internet, ia mengaku pernah melihat logonya di bank.
Sementara Fina, perempuan berusia 25 tahun pemilik tiga rekening bank, mengetahui apa itu LPS dan apa fungsi dan tugasnya. “Jadi kayak badan hukum buat menjamin kalau dana yang disimpan nasabah di bank itu aman,” ucap pegawai perusahaan pembiayaan ini.
Kehadiran LPS memang diharapkan bisa memberikan kenyamanan bagi nasabah, terutama di kala kondisi perekonomian Indonesia sedang tidak menentu seperti saat ini. “Pemerintah memberikan kepastian nasabah deposito perbankan melalui LPS hingga Rp2 miliar saat ini sudah tepat. Namun, sosialisasi terhadap skema penjaminan LPS harus terus dilakukan. Ibu saya di daerah Magetan, belum mengerti fungsi dan tujuan LPS. Nah, mereka di daerah sering bertanya-tanya apa tujuan pemerintah membentuk lembaga ini,” sambung Mas Darul, lelaki berusia 28 pemilik empat rekening bank.
Jadi, sudahkah 10 tahun kehadiran LPS diketahui oleh masyarakat? Apakah sudah semua nasabah mengetahui arti logo dua tangkupan tangan yang mejeng di tiap counter dan jendela-jendela bank? (*)