Bayangkan! Industri Leasing & Perbankan Tanpa Debt Collector, Babak Belur “Ditabrak” Kredit Macet Lalu Krisis

Bayangkan! Industri Leasing & Perbankan Tanpa Debt Collector, Babak Belur “Ditabrak” Kredit Macet Lalu Krisis

Oleh Eko B Supriyanto, Pimpinan Redaksi Infobank Media Group

UTANG harus dibayar. Jika macet jangan menghindar. Apalagi, memindahkan kendaraan yang belum lunas ke pihak lain. Jual, kendaraan hanya “STNK Only” yang dibiarkan marak. Atau, “mempreteli” kendaraan sebelum ditarik. Cukup datang, selesaikan, dan kalau perlu minta restrukturisasi. Jangan lari, apalagi minta perlindungan “LSM” untuk dibebaskan cicilan.

Nah, jika semua penunggak kredit macet kendaraan kooperatif, maka peran penagih pun tak akan ada. Tamatlah riwayat debt collector. Peran penagih atau debt collector selama ini hanya upaya terkahir, setelah peringatan I, II, dan III tak digubris nasabah. Setelah itu, dilakukan penyitaan dengan cara bekerja sama dengan pihak ketiga. Itu pun diperbolehkan oleh aturan.

Harus diakui ada ekses dari kehadiran debt collector. Tapi, tak sedikit pula debt collector yang meregang nyawa. Gesekan dengan masyarakat, atau dengan “LSM” pelindung kredit macet yang tak kooperatif. Ekses inilah yang seharusnya dibenahi. Bukan harus menghapus tukang tagih yang menjadi ekosistem industri leasing.

Ada kejutan dari Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang menyarankan untuk menghapus tukang tagih dari pihak ketiga. Suara itu datang dari Abdullah anggota Komisi III DPR RI yang merespons tragedi Kalibata yang menimbulkan dua korban debt collector tewas dan terbakarnya sejumlah kios UMKM.

Baca juga: Debt Collector Itu Ekosistem Leasing, Menkomdigi Harus Bekukan Iklan “STNK Only” yang Jadi “Biang Kerok”

Jujur saja, anggota DPR sekali lagi melemparkan wacana yang mengguncang pilar-pilar ekonomi praktis. Usulan pelarangan keberadaan debt collector kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah memotong ekosistem leasing.

Harus diakui, usulan ini meski lahir dari niat mulia melindungi konsumen dari praktik penagihan yang kasar dan intimidatif. Tapi, ibarat mengobati demam dengan mematikan sumber panasnya tanpa menyiapkan selimut. Pertanyaannya, apa jadinya ekosistem pembiayaan konsumen, yang menjadi nadi industri otomotif dan sektor informal, jika mekanisme penagihan utang yang efektif tiba-tiba dinyatakan “haram”?

Menurut catatan Infobank, industri multifinance—atau perusahaan pembiayaan—bukan entitas yang berdiri sendiri. Ia adalah penggerak utama mesin konsumsi, khususnya di sektor otomotif. Hampir 70-80 persen penjualan kendaraan bermotor roda dua dan roda empat di Indonesia ditopang oleh pembiayaan dari multifinance.

Mereka adalah pihak yang membuka keran kredit bagi masyarakat yang tidak terjangkau atau tidak dilayani oleh perbankan konvensional. Risiko kredit macet (non-performing loan/NPL) di industri ini secara alami lebih tinggi karena segmen pasarnya.

Menurut data Biro Riset Infobank, per Oktober 2025 kredit bermasalah di perusahaan pembiayaan sebesar 2,47 persen atau Rp12,5 triliun dari total pembiayaan Rp505 triliun. Belum lagi sektor perbankan, kredit bermasalah perbankan 2,25 persen setara dengan Rp185 triliun bermasalah.

Itu belum termasuk utang pinjaman daring (pindar) yang terus membengkak. Nah, jika 50 persen saja tidak kooperatif. Ditagih baik-baik sesuai aturan OJK di hari kerja dan maksimal penagihan pukul 20.00 dan tidak boleh menggunakan debt collector pihak ketiga, maka dapat dipastikan kredit-kredit itu akan jadi batu.

Di sinilah debt collector beroperasi, sebagai ujung tombak yang kontroversial namun kritis. Mereka adalah “setrum” terakhir dalam sistem penagihan, sebuah mekanisme disinsentif yang membuat debitur berpikir ulang untuk wanprestasi. Hilangnya mereka bukan berarti utang akan lenyap, tetapi berarti hilangnya salah satu alat negosiasi dan tekanan yang (seharusnya) masih dalam koridor hukum.

Lalu, Apa Jadinya Tanpa Debt Collector?

Menurut diskusi terbatas yang dilakukann Infobank Institute, setidaknya ada tiga efek jika debt collector dilarang. Pertama, industri multifinance akan langsung kena “serangan jantung”. Tanpa alat penagihan efektif, tingkat NPL akan meroket. Perusahaan pembiayaan akan menghadapi dilema.

Satu sisi menanggung kerugian besar atau secara dramatis memperketat persyaratan kredit.  Sedangkan sisi lain, jika pilihan kedua yang diambil, maka akses masyarakat menengah-bawah kepada pembiayaan kendaraan akan menyempit drastis. Penjualan sepeda motor dan mobil bekas—yang menjadi tulang punggung mobilitas dan ekonomi warga—akan anjlok.

Kedua, industri otomotif bakal ambruk bukan karena permintaan hilang, tetapi karena pembiayaan menguap. Pabrikan dan jaringan dealer akan merasakan guncangan paling keras. Rantai pasok dari pabrik, supplier, hingga tenaga penjualan akan terhenti.

Dampak ikutan, ribuan pekerja di sektor otomotif dan logistik terancam. Dampak multiplier effect-nya akan merambat ke sektor baja, karet, kimia, dan jasa transportasi. Usulan yang bermaksud melindungi konsumen justru berpotensi memangkas lapangan kerja jutaan orang.

Ketiga, dampak negatif terhadap sektor perbankan akan bersifat sistemik dan berbahaya. Bank-bank besar memiliki keterkaitan erat dengan perusahaan pembiayaan, baik sebagai pemilik, pemberi pembiayaan (funding), maupun mitra.

Harus diakui, guncangan di multifinance akan menjadi penyakit yang menular ke perbankan. Selain itu, bank memiliki portofolio kredit konsumen sendiri (KTA, kartu kredit) yang juga mengandalkan proses kolektibilitas. Jadi, pelarangan debt collector akan menciptakan preseden dan tekanan politik untuk melarang praktik serupa di seluruh industri jasa keuangan. Akibatnya, risiko kredit nasional akan terdongkrak, suku bunga pinjaman bisa naik sebagai kompensasi, dan stabilitas sistem keuangan terganggu. Lalu, negara akan kehilangan potensi pajak dari industri leasing, perbankan, dan otomotif beserta industri ikutannya seperti pabrik ban dan spare part (suku cadang).

Lalu, apakah kita harus menerima begitu saja praktik debt collector yang premanistik?

Tentu tidak. Persoalan utamanya bukan pada eksistensi debt collector, tetapi pada lemahnya regulasi, pengawasan, dan penegakan hukum. Pembiaran jual beli kendaraan “STNK Only” merupakan hulu yang dibiarkan oleh negara. Bahkan, sampai sekarang Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tetap diam melihat iklan-iklan di media sosial (medsos) tentang maraknya jual beli kendaraan tanpa BPKB. Hanya “STNK Only” yang melanggar hukum.

Baca juga: Komisi III DPR RI Desak OJK Hapus Aturan Debt Collector, Ini Alasannya

Di sisi lain, pihak perusahaan pembiayaan juga introspeksi diri. Misalnya, sertifikasi dan lisensi ketat bagi profesi penagih utang. Mereka harus dilatih tentang hukum, psikologi, dan komunikasi. Setiap tindakan harus tercatat dan terdokumentasi. Pelanggaran harus berujung pada pencabutan izin dan sanksi pidana.

Selanjutnya, memperkuat alternatif penyelesaian sengketa. Penagihan fisik adalah opsi terakhir dengan protokol yang ketat. Lembaga mediasi yang disepakati OJK harus lebih diakses oleh debitur yang merasa dizalimi. Perusahaan pembiayaan yang menggunakan jasa debt collector “nakal” harus bertanggung jawab secara hukum dan finansial.

Mengutip filsuf ekonomi, “Tidak ada kredit tanpa kolektibilitas, dan tidak ada kolektibilitas tanpa mekanisme penagihan yang kredibel.” DPR dan OJK harus berpikir jernih. Jangan sampai, dalam upaya melindungi segelintir orang dari cara penagihan yang kasar, kita justru “mencekik” leher ekonomi kerakyatan dan memutus akses pembiayaan bagi puluhan juta warga.

Tugas negara adalah mengatur, bukan melarang secara membabi buta. Perbaiki sistemnya, awasi eksekusinya, dan tegakkan hukumnya. Itulah jalan tengah yang bijak, alih-alih membuat kebijakan yang justru bisa mematikan mesin pertumbuhan ekonomi.

Industri leasing & perbankan tanpa debt collector, dipastikan akan babak belur “ditabrak” kredit macet. Lalu banyak perusahaan pembiayaan yang akan masuk ICU dan kita akan krisis. Jangan sampai terjadi pelarangan debt collector, bahwa tata kelola debt collector diperbaiki itu harus. Tapi, jangan “diberangus” karena jujur banyak debitur yang tak kooperatif.

Related Posts

News Update

Netizen +62