Poin Penting
- Tidak diterapkannya meritokrasi menyebabkan korupsi sistemik, inefisiensi ekonomi, dan jabatan dijadikan komoditas balas jasa.
- Budaya nepotisme melemahkan kepercayaan publik, terlihat dari lonjakan jabatan tanpa rekam jejak serta respons buruk terhadap penanganan bencana.
- Matinya meritokrasi memicu oligarki dan melemahkan daya saing nasional, sehingga demokrasi hanya menjadi ritual tanpa substansi.
Jakarta – Dalam dunia profesional, meritokrasi menjadi kata kunci. Meritokrasi, atau penempatan individu yang kompeten di bidangnya untuk suatu posisi, memegang peran penting dalam kemajuan institusi, termasuk birokrasi.
Namun, masih banyak pihak yang belum menerapkan konsep itu dengan baik, sebagaimana diungkapkan Chairman Infobank Media Group, Eko B. Supriyanto dalam pembukaan acara “Closing Year Forum and Appreciation Top 100 CEO and The Next Future Leaders 2025.
Eko pada pembukaan forum yang diadakan Infobank di Shangri La Hotel Jakarta, Senin (8/12), menjelaskan, banyak permasalahan di Indonesia terjadi karena tidak adanya meritokrasi dalam pemilihan sumber daya manusia (SDM), baik di kementerian maupun berbagai lembaga lainnya.
“Bayangkan, kita yang sekolah capek-capek dengan gelar panjang, kita kalah dengan mereka yang tak memiliki pengalaman dan track record yang baik,” ujarnya.
Baca juga: Matinya Meritokrasi Dinilai Picu Korupsi dan Inkompetensi
Lebih lanjut, Eko menjelaskan, Infobank Institute mencatat empat poin penting terkait pengaruh meritokrasi terhadap tata kelola institusi.
Pertama, meritokrasi bukan sekadar jantung rekrutmen, tapi rasionalitas kelembagaan.
Menurutnya, suatu lembaga tanpa meritokrasi rentan melahirkan korupsi yang sistemik dan inefisiensi ekonomi. Tanpa meritokrasi, jabatan hanya menjadi komoditas atau alat untuk balas jasa.
“Contohnya, yang sedang ramai, dana hasil ekspor. Ini mengerikan, karena likuiditas akan berubah dari sektor swasta, yang dapat berdampak sistemik. Setelah saya selidiki ini ide siapa, ternyata hanya kajian publik. Tak lagi kajian finansial, dan ini akan berbahaya,” sebutnya.
Baca juga: Terlalu! Bank Non Himbara Dilarang Kelola DHE, Langkah Mundur Tata Kelola Ekonomi Indonesia
Kedua, kelembagaan tanpa meritokrasi akan mendegradasi kepercayaan publik, akibat kuatnya budaya nepotisme. Misalnya, individu dengan jabatan yang biasa-biasa saja di tingkat menengah, tiba-tiba langsung menjadi pucuk pimpinan.
“Itu ada di Thamrin. Kemudian, yang ada di kepolisian, itu melompat tujuh angkatan. Nah, inilah tidak adanya meritokrasi yang bagi saya berbahaya dalam perspektif jangka panjang,” sambung Eko.
Ia lalu memberikan contoh berikutnya, yakni penanganan bencana alam di Sumatra. Yang mana, saat terjadi bencana banjir, pemerintah terlihat gagap untuk menanganinya.
“Karena memang pejabatnya ‘KW 3’, maksud saya tidak responsif,” sebutnya.
Ketiga, terjadinya oligarki kekuasaan dan matinya demokrasi substansi. Tanpa meritokrasi, Eko menegaskan, demokrasi hanya menjadi ritual pemilihan. Sementara, substansi kekuasaan direbut oleh oligarki.
“Kalau di luar negeri, perusahaan ada masalah kerusakan lingkungan, dituntut luar biasa. Sekarang, satu pun tidak ada yang berani take action atas yang terjadi akibat kerusakan dari 12 perusahaan tambang,” beber Eko.
Selanjutnya, hal keempat adalah hilangnya daya saing nasional dan ketergantungan. Maka dari itu, Eko mengungkapkan, meritokrasi bukan hanya tentang pemilihan orang, tapi juga kelangsungan hidup. (*) Steven Widjaja










