Oleh A.Y. Eka Putra, Pemerhati Ekonomi dan Perbankan
UNDANG-UNDANG (UU) Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa pernah menjadi simbol modernisasi ekonomi Indonesia. Undang-undang itu menegaskan satu prinsip sederhana namun fundamental: setiap orang bebas melakukan lalu lintas devisa tanpa pembatasan yang tidak perlu. Pasar diberi ruang, bank diberi kesempatan bersaing, dan pelaku usaha diberi hak menentukan pilihan yang paling efisien bagi bisnis mereka.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, arah angin berubah. Kebijakan yang mewajibkan devisa hasil ekspor ditempatkan pada bank-bank milik negara memperlihatkan kecenderungan baru: pengelolaan devisa yang terpusat.
Narasinya terdengar mulia: demi stabilitas rupiah, cadangan devisa, dan keamanan likuiditas nasional. Tetapi, di balik itu, terdapat pertanyaan mendasar yang tak bisa diabaikan: apakah rezim devisa bebas masih benar-benar hidup, atau kini hanya tinggal judul besar yang dipajang di atas undang-undang
Baca juga: Terlalu! Bank Non Himbara Dilarang Kelola DHE, Langkah Mundur Tata Kelola Ekonomi Indonesia
Sebab, bila devisa hanya boleh singgah di Himbara, maka konsep “bebas” telah mengalami reduksi makna. Pelaku usaha kehilangan fleksibilitas, bank non-Himbara kehilangan ruang kompetisi, dan pasar kehilangan keseimbangan yang seharusnya menjadi karakter utama sistem keuangan modern. Ironisnya, semua terjadi ketika undang-undangnya sendiri masih berlaku penuh dan belum pernah dicabut.
Kebijakan teknokratis yang melompat lebih jauh daripada mandat undang-undang selalu menimbulkan risiko. Pertama, konsistensi hukum menjadi kabur. Undang-undang berbicara tentang kebebasan devisa, sementara kebijakan turunannya justru membatasi.
Ketika praktik melampaui aturan, maka aturan perlahan kehilangan wibawanya. Kita seperti sedang menyaksikan “game of law”, digantikan oleh “game of preference”.
Kedua, iklim kompetisi perbankan menjadi timpang. Bank milik negara tiba-tiba menjadi pusat gravitasi devisa, sementara bank swasta dan asing hanya berharap sisanya. Padahal, keberagaman pelaku adalah prasyarat vital bagi efisiensi sistem keuangan. Sentralisasi seperti ini pada akhirnya bukan hanya soal kebijakan, melainkan soal arah model ekonomi yang ingin kita bangun.
Ketiga, pelaku ekspor menghadapi ketidakpastian baru. Di tengah tuntutan globalisasi yang membutuhkan kecepatan dan keluwesan, mereka justru berhadapan dengan aturan yang mempersempit ruang gerak. Negara tentu berhak menetapkan strategi ekonomi, tetapi setiap strategi harus tetap tunduk pada kerangka hukum yang berlaku.
Baca juga: Bos BCA Syariah Beberkan Proses Menuju Bank Devisa 2026
Karena itu, pertanyaan “Apakah lalu lintas devisa masih berlaku?” bukan sekadar retorika. Ini adalah pengingat bahwa stabilitas makro tidak boleh dicapai dengan mengabaikan kepastian hukum. Hukum bukan dekorasi; ia fondasi kepercayaan. Ketika undang-undang diperlakukan sebagai opsi, bukan kompas, maka yang melemah bukan hanya kredibilitas kebijakan, tetapi juga kredibilitas negara.
Pada akhirnya, bukan UU 24/1999 yang usang, melainkan keberanian untuk setia pada aturan yang telah kita buat sendiri. (*)










