Tragedi Al Khaziny dan Urgensi Asuransi Konstruksi Wajib

Tragedi Al Khaziny dan Urgensi Asuransi Konstruksi Wajib

Oleh Delil Khairat, Direktur Teknik Operasi, PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero)

TRAGEDI runtuhnya Pondok Pesantren Al Khaziny di Sidoarjo, Jawa Timur, pada akhir September 2025 menjadi duka nasional. Lebih dari enam puluh santri kehilangan nyawa ketika empat lantai bangunan ambruk saat mereka tengah menunaikan salat Ashar. Peristiwa ini bukanlah semata takdir, tetapi cermin dari kelalaian sistemik dalam penegakan keselamatan bangunan di Indonesia.

Investigasi awal menunjukkan bahwa bangunan yang awalnya dirancang hanya satu lantai diperluas menjadi empat lantai tanpa perhitungan struktur memadai. Pondasi tidak diperkuat, tidak ada insinyur bersertifikat yang terlibat, dan tidak ada izin mendirikan bangunan yang sah. Dengan kata lain, tragedi ini lahir dari kombinasi klasik antara ketidaktahuan, penghematan yang keliru, dan lemahnya pengawasan.

Krisis Kepatuhan pada Regulasi Bangunan

Indonesia memiliki lebih dari 42.000 pesantren, menurut data Kementerian Agama 2024. Namun tingkat kepatuhan terhadap regulasi bangunan sangat rendah. Tidak banyak pesantren yang memiliki Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2021.

Biaya pengurusan izin yang mencapai Rp5–10 juta untuk bangunan sederhana sering dianggap terlalu berat bagi pesantren kecil. Prosedur birokratis yang panjang juga menjadi penghalang, diakui sendiri oleh Presiden Prabowo Subianto sebagai “proses yang sangat lambat dan rumit”. Namun di balik itu semua, terdapat persoalan yang lebih mendasar: lemahnya penegakan hukum dan rendahnya kompetensi pengawasan di lapangan.

Kajian internal lembaga profesi konstruksi menunjukkan bahwa sebagian besar pengawas bangunan daerah belum memiliki latar belakang teknik yang memadai. Kondisi ini membuat ketentuan teknis keselamatan sering diabaikan, sementara pelanggaran administratif jarang berujung sanksi. Akibatnya, izin bangunan lebih sering menjadi formalitas, bukan jaminan keselamatan publik.

Budaya Abai Keselamatan yang Mengakar

Kecenderungan mengabaikan aspek keselamatan bukan hanya terjadi di sektor konstruksi. Di bidang transportasi, WHO mencatat bahwa Indonesia menempati posisi lima besar dunia untuk jumlah kecelakaan lalu lintas tertinggi, dengan lebih dari 27.000 korban meninggal pada 2022 (Global Status Report on Road Safety 2023).

Kasus tenggelamnya KM Sinar Bangun di Danau Toba (2018) menjadi contoh ekstrem dari pengabaian aturan. Kapal membawa 188 penumpang—empat kali kapasitas resmi—tanpa manifes dan tanpa perlengkapan keselamatan memadai. Tragedi yang menewaskan 164 orang itu menggambarkan betapa rendahnya disiplin terhadap regulasi teknis dan lemahnya pengawasan pemerintah.

Pola serupa terlihat di proyek-proyek bangunan: izin diabaikan, pekerja tanpa alat pelindung, dan fungsi pengawasan disubstitusi oleh “asal cepat jadi”. Budaya seperti ini tidak hanya menggerus profesionalisme, tetapi juga menormalisasi risiko fatal.

Belajar dari Negara Lain: Asuransi Sebagai Alat Penegakan

Beberapa negara berhasil memutus rantai pengabaian ini dengan memanfaatkan asuransi konstruksi wajib sebagai instrumen pengawasan yang efektif.

Prancis, misalnya, telah memberlakukan assurance décennale sejak 1978.  Setiap kontraktor, arsitek, dan pengembang wajib memiliki asuransi tanggung jawab 10 tahun atas kerusakan struktural bangunan. Tidak memiliki polis ini merupakan pelanggaran pidana dengan ancaman enam bulan penjara dan/atau denda €75.000. Asuransi ini menjamin perbaikan jika bangunan gagal fungsi, bahkan ketika kontraktor sudah bangkrut.

Arab Saudi menerapkan kebijakan serupa melalui Inherent Defects Insurance (IDI) sejak 2018. Tidak ada izin bangunan yang diterbitkan tanpa bukti polis IDI. Pemerintah juga mewajibkan inspeksi teknis independen selama proses konstruksi. Hasilnya, standar kualitas meningkat drastis dan klaim besar akibat cacat konstruksi menurun signifikan.

Sementara di Inggris, meskipun tidak diwajibkan oleh undang-undang, bank dan lembaga pembiayaan hanya akan mendanai proyek yang memiliki structural warranty selama 10–12 tahun. Praktik ini menciptakan penegakan hukum berbasis pasar yang sangat efektif.

Mengapa Asuransi Wajib Relevan untuk Indonesia

Indonesia sebenarnya memiliki semua prasyarat untuk mengadopsi sistem serupa. Industri asuransi nasional telah memiliki produk Contractor All Risks (CAR), Professional Indemnity, dan bahkan mulai memperkenalkan Inherent Defects Insurance (IDI). Ketiganya berperan saling melengkapi: CAR melindungi selama masa konstruksi, IDI selama 10 tahun setelah proyek selesai, dan Professional Indemnity menanggung kesalahan profesional arsitek atau insinyur.

Apabila keberadaan polis-polis ini dikaitkan langsung dengan penerbitan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), maka asuransi akan menjadi mitra efektif pemerintah dalam penegakan keselamatan. Perusahaan asuransi memiliki lima keunggulan utama: leverage finansial, keahlian teknis, pengawasan berkelanjutan, data dan analitik risiko, serta insentif pasar.

Implementasi Bertahap dan Dukungan Kebijakan

Kewajiban asuransi konstruksi tidak harus diterapkan sekaligus. Pemerintah dapat memulai dengan proyek-proyek publik dan bangunan dengan fungsi pendidikan, sosial, dan komersial di atas nilai tertentu. Untuk lembaga non-komersial seperti pesantren, sekolah, atau rumah ibadah, pemerintah dapat memberikan subsidi premi atau layanan konsultasi teknis gratis melalui kolaborasi antara Kementerian PUPR, OJK, dan asosiasi asuransi.

Di sisi fiskal, insentif seperti pengurangan pajak bagi pemilik bangunan yang patuh terhadap ketentuan keselamatan dapat menjadi pendorong tambahan. Pendekatan ini selaras dengan semangat pemerintah untuk memperkuat Governance, Risk, and Compliance (GRC) dalam seluruh ekosistem pembangunan nasional.

Dari Tragedi Menuju Transformasi

Tragedi Al Khaziny menyadarkan kita bahwa keselamatan publik tidak bisa hanya bergantung pada moralitas individu atau niat baik lembaga. Ia memerlukan sistem yang menyeimbangkan pengawasan negara dengan mekanisme pasar yang berdisiplin. Asuransi konstruksi wajib menawarkan model penegakan regulasi yang berbasis kompetensi, independen, dan berkelanjutan.

Dengan lebih dari 37/100 skor Indeks Persepsi Korupsi 2024 (Transparency International) dan rendahnya kapasitas pengawasan teknis di daerah, integrasi fungsi pengawasan melalui asuransi adalah langkah realistis menuju tata kelola keselamatan yang lebih baik.

Kematian para santri di Al Khaziny seharusnya menjadi batas akhir toleransi terhadap kelalaian. Mereka berhak atas keamanan yang dijamin oleh sistem, bukan sekadar doa setelah musibah. Sudah saatnya Indonesia menegakkan keselamatan bangunan dengan cara yang modern, terukur, dan berkeadilan—melalui asuransi konstruksi wajib sebagai penjaga keselamatan publik. (*)

Related Posts

News Update

Netizen +62