Poin Penting
- IHSG naik 14,8 persen ytd per 16 Oktober 2025 dan mencapai level ATH 8.288, didorong kenaikan saham-saham konglomerat, sementara LQ45 justru turun 5,6 persen ytd.
- Dalam dua hari terakhir, saham blue chip ungguli konglomerat (LQ45 +1,1 persen vs IHSG +0,7 persen) akibat aksi profit taking.
Valuasi kedua sektor berada di bawah rata-rata historis, dengan consumer menawarkan prospek pertumbuhan laba lebih baik 2025–2026, sedangkan perbankan menjanjikan dividend yield tinggi.
Jakarta – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat telah mengalami penguatan sebanyak 14,8 persen secara year-to-date (ytd) per 16 Oktober 2025 dan telah menyentuh level tertingginya atau All Time High (ATH) pada posisi 8.288.
Peningkatan IHSG tersebut utamanya didorong oleh kenaikan saham–saham konglomerat, yang terefleksi pada perbedaan performa IHSG dibandingkan indeks yang didominasi saham–saham blue chip seperti LQ45.
Ketika IHSG menguat 14,8 persen ytd, indeks LQ45 mengalami penurunan 5,6 persen ytd, dengan jarak performa di antara keduanya yang semakin melebar sejak pertengahan 2025.
Baca juga: Prospek Pasar Saham Masih Cerah, Mirae Asset Beberkan Penopangnya
Namun, dalam dua hari terakhir, Investment Analyst Lead Stockbit, Edi Chandren, menyoroti performa saham–saham blue chip mulai mengungguli saham–saham konglomerat dengan indeks LQ45 mengalami kenaikan 1,1 persen dibandingkan IHSG yang naik 0,7 persen, salah satunya didorong aksi profit taking pada saham–saham konglomerat.
“Kami menilai bahwa dengan kenaikan harga saham–saham konglomerasi yang sudah masif, investor dapat merotasi atau melakukan rebalancing ke beberapa saham blue chip untuk mengelola risk–reward portofolio,” tulis Edi dalam risetnya di Jakarta, 17 Oktober 2025.
Ia juga melihat sektor konsumer dan keuangan, khususnya perbankan dapat menjadi pilihan bagi investor, mengingat valuasi keduanya sudah berada di level yang rendah secara historis.
Secara umum, valuasi emiten–emiten di sektor konsumer telah terdiskon lebih dari minus 1 standar deviasi di bawah rata–rata historis, sementara valuasi emiten–emiten di sektor perbankan hampir minus 2 standar deviasi di bawah rata–rata historis.
“Kami menilai potensi risiko penurunan lanjutan di kedua sektor tersebut relatif terbatas, dengan kelanjutan foreign outflow menjadi salah satu risiko utama yang kami lihat. Sebaliknya, jika aksi profit taking pada saham–saham konglomerasi berlanjut, potensi upside yang ditawarkan sektor consumer dan banking cukup menarik, menurut kami,” imbuhnya.
Baca juga: Saham Emiten Rokok Kompak “Ngebul” Usai Purbaya Tak Naikkan Cukai dan Harga Eceran di 2026
Secara fundamental, sektor konsumer memiliki prospek pertumbuhan laba bersih yang relatif lebih baik pada 2025–2026 dibandingkan saham perbankan jumbo (big banks), dengan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), dan PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) paling menonjol dari aspek ini.
Sementara saham big banks, kecuali PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), berpotensi mengalami penurunan laba pada tahun ini sebelum pulih pada 2026. Namun, hal tersebut dikompensasikan dengan prospek dividen (dividend yield) yang relatif lebih tinggi dibandingkan sektor consumer.
Dalam jangka pendek, Stockbit memperkirakan rilis kinerja kuartal III 2025 secara umum berpotensi menjadi yang terendah (bottom) dan akan mulai pulih pada kuartal IV 2025. (*)
Editor: Galih Pratama










