Komisi III DPR RI Desak OJK Hapus Aturan Debt Collector, Ini Alasannya

Komisi III DPR RI Desak OJK Hapus Aturan Debt Collector, Ini Alasannya

Poin Penting

  • Komisi III DPR RI meminta OJK mencabut aturan yang memperbolehkan penagihan utang melalui pihak ketiga karena sering disalahgunakan.
  • Tercatat 3.858 aduan terkait pelanggaran oleh debt collector, termasuk ancaman, kekerasan, dan aksi yang meresahkan warga.
  • DPR mendorong penyelesaian utang melalui jalur perdata untuk meminimalkan pelanggaran hukum dan melindungi hak asasi konsumen.

Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menghapus ketentuan dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan, khususnya Pasal 44 ayat (1) dan (2).

Abdullah menilai aturan tersebut memberikan legitimasi kepada pelaku jasa keuangan untuk melakukan penagihan utang melalui pihak ketiga atau jasa penagih utang (debt collector).

“Saya mendesak OJK menghapus aturan pelaku jasa keuangan yang boleh melakukan penagihan utang menggunakan jasa pihak ketiga. Alasannya, praktik di lapangan tidak sesuai aturan dan malah banyak tindak pidana, saya mendorong juga masalah utang ini diselesaikan secara perdata,” kata Abdullah dinukil laman DPR, Minggu, 12 Oktober 2025.

Baca juga : OJK Blokir 27.395 Rekening Terindikasi Judi Online

Abdullah menyampaikan keprihatinannya atas berbagai tindak pidana yang dilakukan oleh penagih utang. Ia juga menyoroti kejadian di Lapangan Tempel Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah, pada Kamis (2/10), di mana mobil milik debt collector dilempari batu oleh warga saat hendak menarik kendaraan di kawasan permukiman.

Aksi warga itu terjadi karena mobil debt collector melaju dengan kecepatan tinggi, memicu kegaduhan dan keresahan di lingkungan sekitar.

“Pelanggaran yang dilakukan penagih utang ini sudah banyak diadukan,” jelas Abdullah.

Ribuan Aduan Masuk ke OJK

Data dari OJK mencatat, sepanjang periode Januari hingga 13 Juni 2025, terdapat 3.858 pengaduan terkait praktik penagihan utang oleh pihak ketiga yang tidak sesuai aturan.

Abdullah menegaskan bahwa banyak debt collector diduga melakukan tindak pidana seperti ancaman, kekerasan, hingga mempermalukan debitur.

“Namun pertanyaan saya, sudah berapa banyak perusahaan jasa keuangan yang diberi sanksi administratif atau bahkan sampai pidana?” tukas legislator dari daerah pemilihan (Dapil) Jawa Tengah (Jateng) VI itu.

Baca juga: Cegah Pembobolan Dana, Begini Titah OJK ke Perusahaan Efek dan Bank RDN

Lebih lanjut, Abdullah mendorong agar penyelesaian utang dilakukan melalui jalur perdata, agar lebih manusiawi dan sesuai prosedur hukum yang berlaku.

“Melalui perdata perusahaan jasa keuangan mesti mengikut mekanisme yang ada. Mulai dari penagihan, penjaminan, sampai penyitaan. Mereka yang berutang atau debitur, jika tidak mampu membayar juga akan masuk daftar hitam atau blacklist nasional melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Bank Indonesia atau OJK,” tambahnya.

Desakan dan dorongan ini pun disampaikannya, mengacu pada perspektif hukum dan HAM yang melindungi konsumen sebagai pihak yang rentan. Namun, penagihan utang juga adalah hak kreditur atau pelaku jasa keuangan yang harus dihormati.

“Maka itu, sekali lagi saya tegaskan, negara hukum yang beradab tidak mengukur keberhasilan penegakan hukum dari seberapa banyak orang dipaksa membayar utang, melainkan dari seberapa jauh hak manusia dihormati dalam proses itu,” pungkasnya. (*)

Editor: Yulian Saputra

Related Posts

News Update

Netizen +62