Poin Penting
- Panas bumi dinilai sebagai solusi ideal trilema energi (terjangkau, andal, dan berkelanjutan), khususnya untuk mendukung transisi energi Asia yang masih bergantung pada energi fosil.
- Indonesia memiliki 40 persen potensi panas bumi dunia, namun baru memanfaatkan sekitar 2,6 GW dari total 24 GW yang tersedia.
- Transisi energi membutuhkan investasi besar, dengan Asia-Pasifik diperkirakan butuh USD2,3 triliun per tahun pada 2030; Indonesia sendiri perlu USD20–25 miliar per tahun, terutama untuk proyek panas bumi, surya, dan hidro.
Jakarta – PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) menyoroti pentingnya peran negara-negara Asia, terutama Indonesia, dalam menyeimbangkan kebutuhan energi fosil dan energi terbarukan. Dalam konteks tersebut, panas bumi dinilai sebagai fondasi utama dalam proses transisi menuju energi bersih, baik di tingkat nasional, regional, maupun global.
Direktur Keuangan PT Pertamina Geothermal Energy Tbk, Yurizki Rio, dalam ajang Asia New Vision Forum (ANVF) 2025 menyampaikan bahwa panas bumi juga dipercaya sebagai solusi atas ‘trilema energi’. Terlebih, Indonesia memiliki potensi cadangan sekitar 24 gigawatt (GW), atau sekitar 40 persen dari total cadangan panas bumi dunia.
“Hari ini, Asia tidak hanya berbicara soal dekarbonisasi, tetapi juga bagaimana menyeimbangkan kembali bauran energi. Energi fosil masih menjadi tulang punggung listrik baseload di banyak negara untuk menjaga ketahanan, dengan porsi sekitar 80 persen dari kebutuhan energi Asia. Namun, di saat bersamaan, permintaan listrik di kawasan ini terus melonjak,” ujarnya, dikutip Senin, 6 Oktober 2025.
Menurut Yurizki, Asia Tenggara perlu meningkatkan investasi energi bersih hingga lima kali lipat, menjadi sekitar USD190 miliar per tahun pada 2035, untuk mencapai target iklim yang telah ditetapkan.
“Ini adalah lompatan besar yang menunjukkan betapa mendesaknya akses terhadap modal baru,” tambahnya.
Baca juga: Dari Panas Bumi ke Blockchain: Indonesia Siap Jadi Raja Bitcoin Asia?
Lebih lanjut, bagi Asia, transisi energi bukan sekadar menambah kapasitas gigawatt dari sumber terbarukan, tetapi juga memastikan listrik tetap tersedia dan industri tetap kompetitif.
Dalam konteks ini, panas bumi dipandang sebagai sumber energi bersih yang ideal. Memiliki karakter sebagai sumber energi lokal yang andal dan tersedia sepanjang waktu, panas bumi tidak bergantung pada kondisi cuaca seperti angin atau matahari.
Keunggulan ini memungkinkan negara-negara secara bertahap mengurangi ketergantungan pada batu bara tanpa harus mengorbankan stabilitas sistem energi.
“Transisi energi yang lebih luas harus mampu menjawab apa yang saya sebut sebagai ‘trilema energi’, yaitu keterjangkauan, keandalan, dan keberlanjutan. Jika salah satu terabaikan, maka akan menimbulkan instabilitas, setidaknya di Indonesia. Panas bumi secara alami menjawab ketiga aspek tersebut, yakni bersifat bersih dan berkelanjutan, andal sebagai baseload, serta dengan struktur pembiayaan yang tepat, tetap terjangkau dalam jangka panjang,” jelasnya.
Integrasi dan Pendanaan, Kunci Utama Transisi Energi Asia
Transisi energi tidak mungkin terwujud tanpa proyek berskala besar yang bankable. Pembangkit listrik, jaringan transmisi, hingga interkoneksi lintas batas membutuhkan pendanaan masif. Tantangan utamanya bukan pada ambisi, melainkan pada pembiayaan.
Menurut International Energy Agency (IEA), Asia-Pasifik perlu melipatgandakan investasi energi bersih hingga tiga kali lipat dalam kurang dari satu dekade, dari USD770 miliar saat ini menjadi lebih dari USD2,3 triliun per tahun pada 2030.
Baca juga : RI-Jepang Sepakati Kerja Sama Panas Bumi di Muara Laboh, Nilai Investasinya Segini
Yurizki menilai Indonesia menghadapi kebutuhan serupa. Di mana, setiap tahun dibutuhkan sekitar USD20–25 miliar di sektor energi, terutama untuk panas bumi, surya, dan hidro.
“Khusus panas bumi, meskipun andal, pembiayaannya sangat besar. Satu sumur produksi dapat menelan biaya hingga USD5–6 juta, sementara risiko eksplorasi membuat banyak investor ragu untuk terlibat,” ujarnya.
Ia juga turut mengungkapkan, PGE terus menjaga disiplin finansial dan memastikan proyek-proyek tetap bankable, sehingga menjadi mitra kredibel bagi modal internasional.
“Bagi kami, kolaborasi bukan sekadar pendanaan, tetapi juga berbagi keahlian, membangun proyek bersama, dan menciptakan ekosistem energi bersih regional yang saling menguntungkan,” tambahnya.
Rantai Manfaat Panas Bumi
Indonesia kerap dijuluki ‘Saudi Arabia of geothermal’ berkat cadangan melimpah. Namun nyatanya, hingga kini baru sekitar 2,6 GW yang dimanfaatkan.
Padahal, setiap USD1 miliar investasi panas bumi tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga menggerakkan industri pengeboran, rekayasa, dan ekonomi lokal dengan multiplier effect hingga 1,25 kali. Hilirisasi panas bumi bahkan membuka peluang diversifikasi produk, seperti green hydrogen dan green ammonia.
Baca juga: BGN Klaim 198 SPPG Sudah Kantongi Sertifikat Laik Higiene Sanitasi
Yurizki mengungkapkan, energi terbarukan bukan hanya solusi iklim, tetapi juga motor pertumbuhan ekonomi. Di Asia, investasi hijau telah menciptakan jutaan pekerjaan, menarik modal global, dan membangun industri domestik.
“Bagi Indonesia, pengembangan panas bumi tidak hanya membersihkan jaringan listrik, tetapi juga memperkuat rantai pasok dan kapasitas teknologi lokal,” pungkasnya. (*)
Editor: Yulian Saputra










