Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group
HARI-hari ini, sebelum terjadi peristiwa menyedihkan, adanya demo yang semula damai tapi berubah dengan anarkis. Sejak Affan Kurniawan, pengemudi ojek online (ojol) yang terlindas mobil Rantis Brimob, kerusuhan, dan penjarahan terjadi. Sebelum hal ini meluas seperti tahun 1998, pemerintah harus mengembalikan kepercayaan (regain trust) dengan cara menjawab kegelisahan masyarakat.
Nah, jika salah penanganan, kita pernah mengalami pengalaman buruk dengan berlanjut pada krisis perbankan sehingga membuat kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan bail-out dengan program rekapitalisasi perbankan hingga menelan biaya mencapai Rp640,9 triliun.
Dari sudut pandang psikologis: The Narcissism of Power, apa yang kita saksikan bukan lagi sekadar ketidakpekaan, melainkan sebuah pathologi kekuasaan yang akut. Perilaku anggota dewan yang “berjoget riang” di tengah jeritan rakyat yang tercekik adalah manifestasi sempurna dari narcissistic personality disorder pada level kolektif.
Plus, bak parade pesta orang kaya baru (OKB) di tengah “kubangan” air mata rakyat. Mereka telah terkungkung dalam gelembung elite (elite bubble) yang tembus pandang, di mana realitas rakyat hanya menjadi statistik yang bisa dimanipulasi atau bahkan diabaikan.
Selain itu, psikologi massa yang demo juga mudah dipahami. Ini adalah puncak dari frustrasi yang terakumulasi (accumulated frustration). Rasa sakit karena melihat ketimpangan yang begitu vulgar—joget-joget tunjangan vs susahnya cari kerja—adalah trigger yang lebih powerful daripada sekadar kenaikan harga.
Tindakan menjarah rumah anggota DPR, dan rumah sang menteri senior, meski tak dapat dibenarkan, adalah bentuk “pelampiasan primitive” terhadap sebuah sistem yang dianggap telah menjarah hidup mereka terlebih dahulu. Ini adalah bahasa orang yang tak lagi punya kata-kata, hanya amuk. Tragedi ojol yang terlindas Rantis Brimob hanyalah “pemantik di tumpukan jerami” kebencian yang sudah menggunung.
Sementara dari sudut pandang ekonomi. Pertumbuhan yang tinggi 5,12 persen lebih sekadar statistik semata. Sementara anggaran untuk 580 anggota DPR mencapai Rp9,9 triliun. Jika di rata-rata untuk 580 anggota DPR, maka setahunnya per anggota DPR akan menghabiskan bujet Rp17,07 miliar. Untuk gaji, staf khusus dan perjalanan menemui konstituen. Yang jadi soal, pesan pemerintah ke rakyat untuk efisien, tapi kok DPR justru naik bujetnya.
Inilah paradoks paling memilukan dalam narasi ekonomi kita: “pertumbuhan tinggi yang mandul” (jobless growth). Ekonomi tumbuh, tetapi lapangan kerja menyempit. Anggaran membengkak, tetapi kesejahteraan rakyat tidak merata. Ini pertanda ada yang sangat salah dalam struktur ekonomi kita. Pertumbuhan itu mungkin digerakkan oleh sektor-sektor kapital intensif (seperti komoditas) yang sedikit menyerap tenaga kerja, atau oleh konsumsi kelas menengah atas yang semakin melebar jurangnya dengan kelompok bawah.
Anggaran DPR yang naik menjadi Rp9,9 triliun adalah “insentif yang salah” (wrong incentive) di saat yang paling keliru. Alih-alih memangkas biaya politik yang obesitas untuk dialihkan ke sektor produktif seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur padat karya, pemerintah justru menyuntikkan “steroid” pada para pemainnya. Uang rakyat yang seharusnya untuk menciptakan safety net justru dipakai untuk membeli kursi malas dan pesta para elite.
Sementara dampaknya terhadap ekonomi rakyat jelas. Seperti, inflasi yang dipicu oleh kenaikan pajak dan harga pokok akan makin mencekik daya beli. Daya tahan rumah tangga miskin dan menengah bawah akan jebol. Lingkungan berusaha menjadi tidak pasti karena dunia usaha melihat pemerintah tidak serius menciptakan stabilitas sosial.
Tidak hanya itu. Pasar modal akan bereaksi negatif terhadap instabilitas politik dan sosial. Lihat saja, IHSG akan melemah karena investor takut pada negara yang di ambang kerusuhan. Juga, nilai tukar rupiah akan tertekan oleh sentimen negatif dan potensi pelarian modal asing (capital flight) yang mencari tempat yang lebih aman.
Sementara dari sudut pandang sosial-politik ini merupakan dekonstruksi kontrak sosial. Aksi “jahat” menjarah ini adalah bukti nyata “retaknya kontrak sosial” antara penguasa dan yang dikuasai. Rakyat merasa kontrak itu telah dilanggar lebih dulu oleh wakilnya.
Nah, jika wakil rakyat hidup dalam kemewahan sementara yang diwakilinya sengsara, maka legitimasi mereka dipertanyakan. Ucapan pejabat yang kurang simpatik dan perilaku “OKB” bukan sekadar salah bicara, melainkan “pengkhianatan terhadap mandat yang diberikan”. Pemerintah tidak bisa lagi bersikap “ala kadarnya” atau sekadar mengutuk aksi penjarahan. Itu adalah respons yang dangkal dan tidak menyentuh akar masalah.
Reshuffle atau mengganti anggota DPR bermasalah hanya akan menjadi simulasi perubahan (simulacra of change), sekadar memindahkan kursi di geladak kapal yang tenggelam. Tapi meski begitu perlu dilakukan oleh sebuah kartel politik yag terdiri dari para ketua-ketua partai.
Jadi, apa yang perlu dilakukan? Menurut diskusi terbatas redaksi Infobank dengan beberapa pihak, paling tidak ada dua hal penting. Satu, bagi pemerintah dan DPR. Yaitu, melakukan moratorium kenaikan tunjangan dan fasilitas. Seperti, tarik kebijakan kenaikan anggaran DPR.
Juga, tunjukkan empati bukan dengan kata-kata, tapi dengan tindakan nyata mengencangkan ikat pinggang sendiri terlebih dahulu. Bukan joget-joget, dan budaya joget-joget ini seperti sudah menjadi “budaya” baru dari para politisi dan pejabat. Entah mereka sudah decoupling dengan rakyatnya atau memang tidak memahami hakekat seorang pejabat karena bermental “Petruk Jadi Ratu” atau “Kere Munggah Bale”.
Selain itu, perlu penyesuaian kebijakan fiskal yang pro rakyat. Alihkan anggaran dari subsidi politik ke subsidi sosial yang tepat sasaran. Ciptakan program padat karya yang masif.
Dan, lebih penting dari itu, Presiden harus turun langsung, bukan dengan pengawalan ketat, tapi dengan kerendahan hati untuk mendengar. Salah satu contoh terbaik, bagaimana Sri Sultan Hamengkubuwono X yang langsung mendatangi para pendemo dengan pendekatan kulturan mampu meredakan para pendemo.
Juga, bentuk tim independen yang merancang ulang sistem remunerasi dan akuntabilitas pejabat negara. Koreksi bujet untuk anggota DPR yang naik hampir setengah dari tahun lalu. Pemerintah, perlu malakukan reformasi struktural. Misalnya, benahi struktur ekonomi agar pertumbuhan bisa inklusif dan menciptakan lapangan kerja yang berkualitas.
Kedua, bagi masyarakat dan dunia usaha termasuk perbankan. Untuk masyarakat sipil, Teruskan tekanan dengan cara-cara yang konstitusional dan cerdas. Gunakan judicial review, class action, dan advokasi media untuk menuntut akuntabilitas. Bukan dengan cara kekerasann dan penjarahan. Stop tindakan anarkis. Hentikan kekerasan yang pada akirnya akan merugikan rakyat kecil.
Dan, saat ini, Indonesia tidak sedang menghadapi tekanan ekonomi akibat utang yang ngawur selama 10 taun terakhir semata. Ini adalah “krisis moral dan krisis legitimasi”. Joget anggota DPR itu adalah joget “kematian” atas kepercayaan publik. Negara harus memilih: melanjutkan pesta para OKB yang berakhir dengan demo dari bawah.
Atau, melakukan koreksi total dengan meruntuhkan tembok “narsisisme” yang memisahkan elite dari rakyatnya. Pilihannya ada di tangan pemerintah yang berkuasa. Copot anggota DPR yang hanya bisa “joget”, borjuis dan narsisme. Juga, para pejabat yang bermasalah dan reshuffle para menteri “KW3” atau “kaleng-kaleng” — yang hanya sibuk dengan bunyi sirene di jalanan di tengah kemacetan sambil memposting narsisme di media sosialnya.
Semoga Indonesia akan baik-baik saja. Stop demo anarkis, karena Indonesia terlalu sayang untuk dilumatkan hanya dengan kemarahan. Kita punya pengalaman buruk itu di tahun 1998 – yang melumatkan seluruh sektor perbankan, dan dunia usaha. Ongkosnya terlalu mahal. Ada BLBI dan ada bailout dengan program rekapitalisasi mencapai Rp640,9 triliun. Pahit dan jangan terulang lagi.
Sejarah mencatat, ketika para elite “berjoget” di atas penderitaan rakyat, musiknya selalu berakhir dengan “ledakan”. Jadi, sebelum terlambat, Pemerintah segera regain trust, dan hentikan “joget-joget”, dan narsisme pejabat OKB di tengah banyak kesulitan hidup masyarakat. (*)










