Jakarta – Bankir senior Sigit Pramono meluncurkan buku terbarunya berjudul “Transformasi dan Ruwat-Citra” dalam rangkaian acara Economic Mastery Forum 2025: Unlock Opportunities in Global Economic Changes yang digelar Infobank Media Group di Jakarta, Jumat (29/8).
Buku ini ditulis dengan gaya naratif dan terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi teori-teori relevan yang memudahkan pembaca memahami konteks transformasi organisasi.
Sementara bagian kedua berisi pengalaman nyata Sigit dalam memimpin transformasi dan melakukan ruwat-citra di berbagai sektor, mulai dari perbankan, koperasi, hingga destinasi wisata.
Dalam peluncuran tersebut, Sigit menekankan bahwa transformasi organisasi tidak boleh dipersempit hanya pada perubahan logo atau identitas visual semata.
Baca juga: Bos Infobank Soroti Ketidakadilan Risiko Kredit di Industri Perbankan
Ia memperkenalkan istilah ruwat-citra, yang terinspirasi dari tradisi Jawa mengganti nama seseorang untuk menolak kesialan.
Konsep ini menegaskan bahwa perubahan organisasi harus menyentuh aspek yang lebih mendalam, mulai dari strategi, budaya, hingga identitas baru yang mampu meningkatkan citra sekaligus loyalitas.
“Ruwat-citra adalah cara paling efektif mengomunikasikan perubahan organisasi. Publik sering tidak tahu apa yang terjadi di dalam organisasi, sehingga rebranding menjadi jembatan penting untuk menyampaikan perubahan itu,” ujar Sigit yang juga pernah menjabat Direktur Utama BNI (2003-2008) ini.
Ia juga mencontohkan pengalamannya dalam transformasi di BNI maupun saat melakukan rebranding destinasi wisata di Borobudur. Di Borobudur, citra kawasan berhasil diubah dari sekadar tujuan religi menjadi pusat festival budaya berskala internasional.
“Keberhasilan itu bukan hanya karena pergantian identitas, melainkan juga adanya perubahan nilai dan strategi yang lebih menyeluruh,” jelasnya.
Baca juga: Ini Dia Bank-bank dengan Rating Kinerja “Sangat Bagus” Tahun 2025 Versi Infobank
Sigit berharap buku “Transformasi dan Ruwat-Citra” dapat menjadi referensi penting bagi akademisi, praktisi bisnis, hingga pemimpin organisasi.
Lebih dari sekadar dokumentasi pengalaman pribadi, buku ini juga menjadi pesan bagi generasi muda untuk berani melakukan transformasi sejati yang menyentuh akar organisasi, bukan hanya perubahan kosmetik.
“Transformasi sejati itu berisiko, tapi justru di sanalah letak pembelajarannya. Jangan berhenti di permukaan. Dalami sampai ke strategi, budaya, dan nilai organisasi,” pesan Sigit. (*) Alfi Salima Puteri









