Jakarta – Pemerintah memproyeksikan rasio perpajakan bisa meningkat mencapai 13 persen atau lebih tinggi dari realisasi pada tahun 2024 yang sebesar 10,2 persen.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal menjelaskan, terdapat perbedaah perhitungan antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan standar internasional dalam menghitung rasio pajak.
Yon Arsal menyebutkan, dalam menentukan rasio pajak, DJP hanya menggunakan komponen dari penerimaan perpajakan saja, yakni peneriman pajak dan kepabeanan & cukai, yang dibagi dengan Produk Domestik Bruto (PDB).
Sementara, untuk standar internasional, rasio pajak dihitung dari komponen, realisasi perpajakan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam (SDA), pajak daerah, dan iuran jaminan sosial.
“Makanya kalau kita seringkali, kalau membandingkan tax ratio kita dengan luar negeri, kemudian hanya membandingkan hanya penerimaan DJP saja atau penerimaan DJP tambah bea cukai, itu rasanya kurang lengkap,” ujar Yon Arsal dalam Launching Riset CELIOS, di Jakarta, Selasa, 12 Agustus 2025.
Baca juga: Celios: Pajak Kekayaan 50 Konglomerat RI Bisa Tambah Rp81 Triliun ke Negara
Adapun saat ini, tax ratio RI berada di angka 10,2 persen. Jika diakumulasikan dengan PNBP SDA yang sebesar 1,5 hingga 2 persen, maka tax ratio Indonesia sudah berada di level 12 persen.
Kemudian, bila ditambahkan dengan pajak daerah yang sebesar 1 hingga 1,5 persen, maka tax ratio bisa mencapai 13 hingga 13,5 persen.
“Jadi sebenarnya itu tax ratio kita itu kalau mau komparasi itu ya masih relatifly sekitar 13 sampai 13,5 persen,” pungkasnya.
Masih di Bawah Standar IMF
Meski demikian, Yon Arsal mengakui, rasio pajak sebesar 13 persen tersebut belum masuk ke dalam standar lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) yang menentukan kecukupan rasio pajak berkelanjutan minimal sebesar 15 persen.
“Jadi kita masih punya gap, tapi jangan bandingin 10 persen dengan 15 persen, tapi bandinginnya adalah 12 hingga 13 persen, karena itu yang seharusnya terjadi. Kemudian dilihat dari sustainable, apakah dia sustainable? ya kita masih ada ruang, dan itu harus kita kerjakan,” bebernya.
Baca juga: Aturan Pajak Terbaru: Emas Batangan Kena PPh 0,25 Persen, Ini Pengecualiannya
Perbandingan dengan Negara Lain
Lebih lanjut, bila dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia tidak terlalu tertinggal. Misalnya saja, Malaysia memiliki tax ratio sebesar 12 hingga 13 persen. Kemudian, Vietnam 17 hingga 18 persen, namun sekitar 5,4 persen berasal dari kontribusi jaminan sosial (social security contribution).
“Di negara-negara yang sudah maju, OECD itu ya kontribusi social security itu bisa 20-26 persen, makanya jangan heran kalau lihat berapa tax ratio-nya di Swedia bisa 40-50 persen, karena 20 persen lebih itu adalah social security contribution,” ungkapnya.
“Kalau yang kita keluarkan sama rata-rata pajak itu memang ada di kisaran 17 sampai 18, itu negara yang sudah develop ya, tapi negara-negara yang berkembang memang kisarannya di bawah 15 persen, karena masih ada ruang untuk perbaikan,” imbuhnya. (*)
Editor: Yulian Saputra










