Jakarta – Center of Economic and Law Studies (Celios) merilis laporan baru bertemakan “Dampak Regulasi Batas Maksimum Manfaat Ekonomi Pinjaman Daring”. Isi dari laporan ini salah satunya membahas soal penurunan manfaat ekonomi atau suku bunga terhadap ekosistem pindar.
Nailul Huda, Director of Digital Economy CELIOS, mengapresiasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) soal suku bunga, yang tertuang dalam SEOJK Nomor 19 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.
Perlu diketahui, sebelum SEOJK tersebut diterapkan, suku bunga pindar bisa mencapai 1,5 persen per hari. Hal ini mengikuti keinginan lender atau pemberi pinjaman, agar memperoleh timbal balik investasi yang tinggi.
“Ini merupakan salah satu kendala yang menyebabkan borrower itu sangat-sangat tertekan. Kami appreciate, sudah ada pengaturan bunga, yang hingga saat ini terus disempurnakan melalui SEOJK maupun melalui POJK,” kata Huda, Senin, 11 Agustus 2025.
Baca juga: Dinilai Janggal, Celios Minta Data Ekonomi RI Diaduit Badan Statistik PBB
Suku bunga yang turun ini berdampak positif kepada meningkatnya jumlah outstanding pinjaman pindar, seiring dengan menurunnya kredit perbankan terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dengan demikian, pindar bisa menjadi alternatif terhadap para pengusaha kecil yang membutuhkan alternatif pembiayaan.
Manfaat ekonomi yang turun juga diincar oleh lender luar negeri atau perbankan, karena pinjaman akan semakin banyak masuk. Sayangnya, hal yang sama juga berdampak negatif terhadap pemberi pinjaman perorangan dari Indonesia.
“Lender individu dalam negeri ini memang boleh dibilang sangat sensitif terhadap bunga. Karena, mereka pasti merasa, ‘oh kok segini doang (hasil investasinya), saya bisa investasi di tempat lainnya gitu’,” terang Huda.
Baca juga: Soal Pemblokiran Rekening “Tidur”, Celios: Kebijakan PPATK Rugikan Masyarakat
Hal ini memang menimbulkan dilema bagi pelaku industri dan regulator. Dalam kasus ini, Huda mengajak kedua belah pihak untuk terus berdialog supaya bisa menghasilkan suku bunga yang cocok, baik untuk borrower atau peminjam dana, maupun lender.
“Kita usahakan supaya kebijakan suku bunga ini tetap ada. Kami juga titip supaya peraturan suku bunganya terus dievaluasi dan sebagainya. Karena, saya rasa ini jadi concern juga masyarakat yang luas,” tegasnya.
Tanggapan OJK dan AFPI
Hari Gamawan, Direktur Pengembangan Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan LJK Lainnya OJK, menambahkan kalau pembatasan manfaat ekonomi di pindar dapat meningkatkan akses pinjaman kepada masyarakat luas.
“Semua ini diharapkan bisa mendorong saudara-saudara kita, yang selama ini prinsipnya dapat suku bunga tinggi dari pinjol, dari lintah darat, akan mendapatkan suku yang lebih rendah,” papar Hari.
Selain itu, penetapan suku bunga ini sejalan dengan pertumbuhan industri pindar. Data dari OJK per Juni 2025, menunjukkan bahwa outstanding pinjaman sudah mencapai Rp83,52 triliun atau tumbuh 25,06 persen secara year on year (yoy).
Adapun tingkat wanprestasi (TWP90) di periode ini berada di angka 2,85 persen. Ia mengaku senang dengan pertumbuhan yang terjadi di industri pindar, kendati pembatasan suku bunga ini.
“Pertumbuhan ini terjadi sejak dilakukannya atau ditetapkannya pembatasan terhadap suku bunga. Data ini menunjukkan, bahwa ternyata pembatasan suku bunga itu tetap tidak menghambat pertumbuhan dari aset maupun pendanaan yang dilakukan,“ ujarnya.
Baca juga: OJK Awasi Ketat 14 Pindar Belum Penuhi Ekuitas Rp12,5 Miliar
Sementara, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), menilai kalau pembatasan suku bunga ini bisa melindungi nasabah dari pinjol ilegal. Entjik S. Djafar, Ketua Umum AFPI, mengaku kalau industri tidak ada niat merugikan borrower.
“Suku bunga ini memang kami atur untuk consumer protection. Bukan untuk kita bersepakat ramai-ramai mencari keuntungan. Dan yang paling penting, bahwa ini semua atas arahan OJK,” tegas Entjik. (*) Mohammad Adrianto Sukarso









