Oleh Eko B. Supriyanto, Pimpinan Redaksi Infobank
PARA mantan direksi bank pembangunan daerah (BPD) entah mimpi apa. Sudah pensiun, tiba-tiba dijadikan tersangka atas persetujuan kredit lima tahun lalu. Masa pensiun harus menginap di hotel “prodeo”. Hilang sudah reputasi selama kariernya, dan tentu lenyap pula segalanya. Hal itu yang sekarang dialami mantan direksi dari tiga bank daerah, yaitu Bank DKI (sekarang Bank Jakarta), Bank BJB, dan Bank Jateng. Bisa jadi itu akan menimpa pada bank-bank daerah lainnya dengan kasus berbeda. Saat ini, kondisi sekarang, segalanya bisa terjadi. Bahkan, sekarang menimbulkan ketakutan bagi semua bankir.
Penetapan bankir-bankir BPD ini memberi signal buruk bagi bankir lainnya. Jika BPD memberikan kredit, dan kemudian macet dinilai merugikan negara. Pertanyaannya; bagaimana nanti jika bankir-bankir swasta, dan asing memberikan kredit ke BUMN yang kemudian macet. Saat ini di benak para bankir juga sangat menakutkan. Penetapan tersangka bankir-bankir BPD ini merupakan signal buruk bagi perbankan yang sekarang ”loyo” kredit.
Para tersangka, yang sebagian merupakan bankir profesional jebolan Bank Mandiri ini, menurut Direktur Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung RI, Nurcahyo Jungkung Madyo, bersekongkol dalam memberikan kredit ke PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Padahal, katanya, Sritex tidak layak dibiayai.

Baca juga: RUPSLB Bank Mandiri (BMRI), Riduan Dikabarkan Jadi Dirut Baru
Perbuatan para ”tersangka” dianggap turut menimbulkan kerugian negara hingga Rp1,08 triliun. “Kerugian negara dari pemberian kredit ini kepada tiga bank itu kurang lebih Rp1.088.650.808.028, yang saat ini tentunya masih dalam proses perhitungan kerugian keuangan negara dari BPK RI,” kata Nurcahyo.
Sampai dengan 2020, siapa yang tak tertarik dengan Sritex, yang sudah “diguyur” oleh banyak bank bonafide. Total pinjamannya mencapai Rp25,1 triliun dari 28 bank. Bukan hanya Bank DKI, Bank BJB, dan Bank Jateng, tapi 25 kreditur lainnya. Kini, cerita sukses Sritex tinggal kenangan. Padahal, sebelumnya, siapa yang tidak pingin membiayai Sritex, yang sudah go public dan menjadi pemain penting industri tekstil dan turunannya.
Pada 2020, menurut laporan keuangan Sritex, aset total mencapai Rp27,37 triliun dengan total kewajiban Rp21,89 triliun. Ekuitas pemegag saham Rp5,47 triliun. Jadi, tahun 2020 tidak benar yang menyebutkan kewajibannya lebih besar daripada asetnya. Rasio kewajiban terhadap aset (debt to asset ratio) masih 80 persen. Nah, meski utangnya tergolong tinggi, tapi perusahaan masih memiliki ekuitas positif (Rp5,47 triliun). Tahun 2020, masih layak kredit.
Namun, 2022-2023, kondisinya memburuk karena ada kenaikan utang dan penurunan aset, sehingga pada 2023 ekuitasnya menjadi negatif. Sritex pun terkena jebakan utang, apalagi masa-masa berat COVID-19 yang memperburuk kondisi keuangan. Akhirnya masuk Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan berakhir pailit. Dan, bencana terjadi. Pemutusan hubungan kerja (PHK) tak dapat dihindari, dan mulailah dilakukan pemeriksaan.
Jadi, ketika para bankir BPD itu ketika memberikan kredit kondisi PT. Sritex masih layak kredit dengan keuntungan yang memadai. Siapa yang tahu kalau setahun-dua tahun kemudian kondisinya memburuk. Itu bukan salah yang memberikan kredit. Dan, di luar kendali pemberi kredit dalam hal ini oleh tiga BPD. Ibarat di pasar, kita kehilangan dompet. Lalu lapor ke pihak keamanan. Tapi, oleh pihak keamanan justru malah disalahkan. ”Sudah tahu di pasar banyak copet, kenapa tidak hati-hati”. Padahal, harusnya copetnya yang ditangkap, dan bukan yang punya dompet yang disalahkan karena dinilai kurang hati-hati. Tiga bank itulah yang kehilangan uang, bukan sengaja menghilangkan uang. Itu business judgment.
Nasib jadi bankir BPD, memang harus punya kemampuan lebih. Selama ini, BPD senantiasa diganggu pemegang sahamnya, yaitu pemda-pemda lewat bupati dan gubernurnya. Kursi direksi BPD memang panas. Ganti kepala daerah, maka ganti direksi. Tak peduli kinerja keuangannya mengilap atau buram. Tidak hanya itu. Gangguan juga muncul dari Kementerian Dalam Negeri dengan PP No. 54 Tahun 2017 yang membuat BPD sulit bergerak, meski sudah dapat pengawasan dari OJK dan BI.
Sekarang, ke soal persetujuan kredit, seperti dialami mantan direksi Bank DKI, Bank BJB, dan Bank Jateng, ketika kreditnya macet mereka ditersangkakan merugikan negara. Lebih ngeri lagi, dikatakan “bersekongkol”. Padahal, jika melihat kasusnya, tampaknya Sritex yang gagal bayar, akibat penurunan omzet, karena pasar ekspor lesu disebabkan COVID-19 dan perang Rusia-Ukraina yang membuat pasar global tidak sesuai dengan rencana bisnis Sritex.
Jadi, kredit menjadi ”batuk” dan macet di banyak bank, termasuk di tiga bank yang kini direksi dan pejabatnya (tujuh bankir) menjadi tersangka. Ini ibaratnya, duit BPD yang dipakai Sritex dengan kendali dari Sritex, kok banknya yang memberikan kredit disalahkan. Inilah pertanyaan besar bagi para bankir BPD yang lain. Tapi, kalau kredit sudah macet, biasanya, apa pun bisa dipersalahkan. Cukup hanya dengan kalimat “melanggar prinsip kehati-hatian”.
Baca juga: Hati-hati! Kredit Melambat dan Penuh Jebakan Maut Kredit Macet
Sejak penetapan mantan bankir dari ketiga BPD itu kini menyebar ketakukan kepada banyak bankir, termasuk bankir swasta, asing dan tentu bankir Himbara. Jika tiga bankir BPD memberikan kredit kepada Sritex (Swasta), bagaimana jika debiturnya BUMN yang macet? Itulah yang membuat ketakutan semua bankir jika suatu saat kreditnya macet. Ngeri-ngeri sedap. Jangan sampai, nanti ketika ada yang macet di debitur BUMN, bank-bank swasta atau asing dituduh ikut berperan serta merugikan negara.
Padahal, tidak semua kredit macet itu kesalahan bankir. Kasus kredit macet Sritex lebih banyak karena debiturnnya. Bukan karena bankirnya. Sudah tentu, penetapan bankir-bankir BPD yang dituduhkan merugikan negara ini punya efek negatif bagi pemberian kredit. Bisa jadi, bankir-bankir BPD akan mengkaji ulang dalam memberikan kredit ke korporasi. Mereka pun akan lebih memilih sektor aman, yaitu kredit karyawan. Atau, jika punya kelebihan dana, lebih baik bermalas-malasan dengan membeli Surat Berharga Negara (SBN) yang yield-nya aduhai. Atau menikmati Surat Berharga Bank Indonesia atau Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Siapa menyangka, perusahaan yang dibiayai saat ini baik kinerjanya lalu lima tahun kemudian “remuk”. Lantas jadi viral. Dan, jika ada kredit dari BPD, lalu bankirnya bisa menjadi tersangka meski sudah pensiun. Jika bankir-bankir Himbara sudah dijamin UU BUMN, bahwa kredit macet bukan merupakan kerugian negara, maka sudah waktunya ini berlaku pula untuk bankir-bankir BPD. Pemberian kredit itu business judgment sepanjang tidak ada gratifikasi, dan aliran dana, atau bentuk apa pun pemberian.
Hati-hati! Menyetujui kredit yang kemudian bisa macet akhirnya ditersangkakan merugikan negara. Ini bisa dialami siapa saja. Ini signal buruk bagi dunia perbankan. Terutama bankir dari 27 BPD se-Indonesia. Makanya, ada seloroh dari seorang bankir, ”Semua bankir dari BPD kalau mati pasti masuk surga, karena selama hidupnya sudah seperti di neraka”.
Tidak semua kredit macet itu kesalahan bankir. Dan, tidak semua kredit macet itu merugikan negara. (*)










