Blokir Rekening Dormant Berpotensi Guncang Fondasi Sistem Keuangan RI

Blokir Rekening Dormant Berpotensi Guncang Fondasi Sistem Keuangan RI

Jakarta – Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membuat kebijakan baru bagi rekening dormant atau rekening ‘nganggur’ yang tidak digunakan bertransaksi dalam kurun waktu tertentu untuk diblokir. Alasannya, untuk mencegah penyalahgunaan rekening oleh pelaku kejahatan, namun aturan ini menimbulkan kontra di masyarakat.

Economist NH Korindo Sekuritas Ezaridho Ibnutama menyatakan, langkah yang dilakukan PPATK akan menimbulkan masalah besar, bahkan mengguncang fondasi sistem keuangan di Tanah Air.

Dunia nyata, kata Ezaridho, uang yang ‘diam’ di rekening bukanlah masalah. Itu bisa jadi tabungan darurat, dana pensiun, atau sekadar hasil kerja keras yang belum tahu mau diapakan.

Menurutnya, uang yang didiamkan tersebut sah-sah saja. Sebab, tidak semua orang ingin uangnya terus bergerak. Dalam ekonomi pasar, keputusan untuk menunda konsumsi adalah bagian dari kebebasan individu.

Bahkan, dalam teori ekonomi klasik sekalipun-apalagi yang condong ke Mazhab Austria-tabungan justru adalah fondasi dari investasi. Bukan kebocoran, melainkan bahan bakar pertumbuhan jangka panjang.

“Tapi dengan kebijakan ini, negara seperti ingin berkata: “Kalau kamu diam saja, kami curiga.” Ini bukan sekadar regulasi. Ini bentuk tekanan moral terselubung yang seolah mengatakan bahwa uang yang tidak diputar adalah kesalahan,” ujar Ezaridho saat dihubungi Infobanknews, Jumat, 1 Agustus 2025.

Baca juga: Dana Bansos Rp2,1 T Mengendap di Rekening Dormant, Puan Desak Audit Menyeluruh

Lebih lanjut, dia menyebut negara mulai menaruh syarat di atas hak milik. Di titik ini, banyak masyarakat yang mulai mempertanyakan apakah uang yang dibekukan hanya karena tidak digunakan apakah benar-benar masih miliknya. Sehingga, ini akan memicu sentimen masyarakat akan mulai menarik dananya di bank.

“Kita jangan naif. Sentimen semacam ini bisa menular. Orang bisa mulai menarik dananya. Memindahkan ke luar negeri. Atau menyimpannya di rumah. Ketakutan adalah mata uang yang jauh lebih cepat menyebar ketimbang informasi resmi,” jelasnya.

Ezaridho menambahkan, jika cukup banyak orang merasa sistem perbankan tak lagi netral, maka gelombang kecil bisa berubah jadi tsunami. Dalam sejarah ekonomi Indonesia dan negara mana pun, krisis kepercayaan terhadap sistem perbankan hampir selalu berujung buruk.

Bank bisa memiliki Capital Adequacy Ratio (CAR) 25 persen dan Loan to Deposit Ratio (LDR) yang kelihatan sehat disebabkan masyarakat masih menaruh dananya di sistem perbankan.

“Tapi kalau besok pagi ada antrean orang menarik uang karena takut rekeningnya dibekukan, tidak ada angka-angka itu yang bisa menyelamatkan mereka. Sistem bank sangat bergantung pada satu hal: kepercayaan. Begitu itu goyah, rasionalitas hilang. Dan itulah yang seharusnya dihindari,” paparnya.

Ezaridhio menyampaikan, masalah lainnya adalah sinyal kepada investor. Kalau otoritas keuangan bisa mengutak-atik rekening pribadi dengan alasan tidak aktif, bagaimana investor asing bisa merasa aman memarkir dananya di Indonesia, karena modal bukanlah entitas yang tunduk pada nasionalisme.

Dana investor akan mengalir ke tempat yang menghargai kepemilikan, kepastian hukum, dan kebebasan transaksi. Negara yang terlalu gampang mengintervensi rekening bank akan kesulitan meyakinkan dunia bahwa mereka tempat yang ramah untuk investasi jangka panjang.

“Ini bukan soal membela uang diam atau tidak diam. Ini soal prinsip dasar: bahwa dalam masyarakat bebas, negara tak berhak menentukan bagaimana dan kapan seseorang menggunakan uangnya. Tugas negara adalah melindungi hak milik, bukan memaksakan cara penggunaannya,” tandasnya.

Baca juga: Gaduh Blokir Rekening Dormant, DPR Minta OJK dan PPATK Beri Penjelasan

Jika tujuannya adalah mencegah penyalahgunaan rekening, lakukan pendekatan berbasis analisis risiko. Perketat pengawasan pada transaksi mencurigakan. Tapi jangan libas semua rekening dormant seperti membakar ladang demi membunuh tikus.

“Setiap orang punya alasan menyimpan uang. Dan kita tidak sedang hidup di negara yang bisa menentukan validitas alasan pribadi warga negara tanpa dasar yang sangat kuat,” tambahnya.

Dia menilai, sudah saatnya RI kembali pada kebijakan yang menghormati hak milik dan keputusan individual. Bukan dengan menyebar rasa curiga, tapi dengan memperkuat fondasi kepercayaan. Karena tanpa itu, sistem keuangan yang kita banggakan hanya akan jadi gedung indah yang dibangun di atas pasir basah.

“Uang memang bisa berpindah tempat. Tapi kepercayaan? Sekali hilang, sulit kembali. PPATK dan pemerintah harus memahami ini sebelum keputusan ini berkembang menjadi krisis yang mereka sendiri tidak siap menanggungnya,” tutup Ezaridho. (*)

Editor: Galih Pratama

Related Posts

News Update

Netizen +62