Oleh Setiawan Budi Utomo, pemerhati ekonomi syariah dan kebijakan publik
LANGKAH Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) menerbitkan fatwa tentang exchange traded fund (ETF) syariah emas (Juli 2025) merupakan tonggak penting dalam pengembangan pasar modal syariah di Indonesia. Ini bukan hanya sebuah respons terhadap dinamika industri keuangan, tapi juga refleksi dari semangat untuk mendorong inklusi keuangan syariah berbasis prinsip fikih muamalah yang kokoh, sekaligus adaptif terhadap inovasi instrumen investasi modern.
Fatwa ini menyempurnakan dan lebih tepatnya melengkapi fatwa sebelumnya, yaitu Fatwa DSN-MUI No. 154/DSN-MUI/V/2023 tentang ETF Syariah, yang belum mengatur emas sebagai dasar penerbitannya. Dengan memasukkan emas sebagai underlying asset, fatwa baru ini membuka jalur strategis bagi pelaku pasar syariah untuk berinvestasi pada instrumen yang aman, bernilai intrinsik tinggi, dan memiliki daya tarik kultural serta spiritual tersendiri di tengah masyarakat muslim.
Inovasi dengan Landasan Syariah
ETF syariah emas adalah reksa dana syariah berbentuk kontrak investasi kolektif (KIK), yang unit penyertaannya diperdagangkan di bursa efek, dengan underlying berupa emas fisik murni (99,9 persen). Ketentuan dalam fatwa ini menyebutkan bahwa emas yang mendasari penerbitan ETF harus benar-benar eksis secara fisik dan disimpan secara allocated account oleh lembaga yang mendapat izin. Ini penting untuk menghindari praktik gharar (ketidakpastian), riba, maupun maysir (spekulasi), yang jelas-jelas dilarang dalam syariah.
Fatwa juga menegaskan pentingnya akad-akad yang digunakan dalam transaksi ETF syariah emas: dari akad wakalah bil ujrah antara investor dan dealer partisipan (DP), akad bai’ al-muthlaq dalam jual beli emas, hingga akad ijarah dalam penitipan emas. Semua dirancang untuk menjaga kemurnian syariah sekaligus memastikan efisiensi transaksi di pasar perdana dan sekunder.
Ini menunjukkan bahwa pasar modal syariah Indonesia tidak hanya mengikuti arus tren investasi global, tapi juga membangun kerangka akidah dan fikih yang kuat sehingga umat dan masyarakat umum tidak ragu-ragu dalam berinvestasi karena sudah ada jaminan kehalalan prosesnya.
Baca juga: Berikut 5 Arah Kebijakan OJK Dongkrak Pertumbuhan Perbankan Syariah
Menjawab Kebutuhan, Membangun Kepercayaan
Data OJK mencatat bahwa hingga akhir 2024, nilai asset under management (AUM) reksa dana syariah baru menyentuh sekitar Rp48 triliun atau sekitar 9 persen dari total industri reksa dana nasional. Sementara itu, investor ritel syariah terus tumbuh, namun masih jauh dari potensi sebenarnya: dari 11,4 juta investor pasar modal, hanya sekitar 10 persen yang aktif di segmen syariah.
Salah satu penghambat utama adalah kurangnya diversifikasi instrumen investasi syariah yang menjanjikan. Fatwa ETF syariah emas hadir di saat yang tepat untuk menjawab kebutuhan investor syariah akan produk yang (1) likuid dan dapat diperdagangkan di bursa seperti saham, (2) berbasis aset riil seperti emas, dan (3) memiliki risiko yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan saham syariah biasa.
Dengan karakter tersebut, ETF syariah emas sangat cocok bagi investor pemula, kelas menengah muslim urban, hingga institusi keuangan syariah yang ingin mendiversifikasi portofolionya secara halal dan stabil.
Etos Syariah dalam Bursa Modern
Tidak semua inovasi keuangan modern otomatis sejalan dengan prinsip syariah. Karena itu, tugas besar DSN-MUI di antaranya adalah memastikan bahwa setiap produk pasar modal tidak hanya compliant secara administratif, tapi juga authentic secara substansi. Fatwa ini menunjukkan upaya serius tersebut.
DSN-MUI menegaskan bahwa ETF syariah emas harus dijauhkan dari praktik jual beli emas tidak tunai yang dilarang, praktik na’jsy (penawaran palsu), atau spekulasi harga yang menyerempet perjudian (maysir). Hadis-hadis seperti “jangan menjual emas dengan emas kecuali sepadan dan tunai” (HR. Bukhari) menjadi landasan kuat untuk kehati-hatian ini.
Namun, fatwa juga membuka ruang adaptasi terhadap realitas kontemporer: seperti pandangan Syaikh Ali Jumu’ah yang membolehkan jual beli emas secara taqsith (angsuran) karena emas hari ini lebih dilihat sebagai sil’ah (komoditas), bukan lagi tsaman (alat tukar seperti di masa Rasulullah).
Dengan pendekatan maqashid syariah (tujuan syariah) dan ijtihad jamai’ (ijtihad kolektif) fatwa ini menghindari bentuk literalisme yang kaku, tapi tetap berpegang pada kaidah-kaidah pokok muamalah: al-ashlu fil mu’amalat al-ibahah illa ma dalla dalilun ‘ala tahrimihi yakni pada dasarnya semua muamalah boleh, kecuali ada dalil pengharamannya.
Menuju Ekosistem ETF Syariah yang Berkembang
Tantangan berikutnya adalah memastikan eksekusi fatwa ini secara utuh dan konsisten. Semua pelaku, manajer investasi syariah (MIS), bank kustodian, dealer partisipan, sponsor, dan penyedia serta penitip emas, harus memahami ketentuan fikih yang termuat dalam fatwa. OJK, BEI, dan DSN-MUI perlu memastikan governance produk ETF syariah emas ini berjalan sesuai dengan prinsip syariah compliance dan market discipline.
Sebagai pembanding, sejumlah negara dengan pasar modal syariah yang lebih matang telah lebih dulu mengembangkan ETF syariah sebagai instrumen investasi unggulan. Malaysia, misalnya, melalui Bursa Malaysia-i, telah meluncurkan berbagai ETF syariah berbasis indeks saham, emas, maupun sukuk negara. Salah satu produk unggulannya adalah TradePlus Shariah Gold Tracker, yang mencerminkan harga emas dunia dan 100 persen didukung emas fisik yang disimpan di bank kustodian syariah.
Di Timur Tengah, pasar ETF syariah juga mulai menggeliat, terutama di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. S&P MENA Sukuk ETF, yang berisi portofolio sukuk dari negara-negara Teluk, menjadi daya tarik bagi investor syariah global. Bahkan, di Amerika Serikat dan Inggris, ETF berdasarkan prinsip syariah (Islamic ETF) mulai dikembangkan oleh manajer investasi, seperti Wahed Investdan Saturna Capital.
Kehadiran ETF syariah di pasar global menunjukkan bahwa instrumen ini bukan hanya selaras dengan prinsip Islam, tapi juga adaptif terhadap tuntutan modern: likuid, transparan, efisien biaya, dan cocok untuk diversifikasi. Indonesia memiliki potensi besar untuk tidak hanya menjadi pasar, tapi juga issuer utama ETF syariah yang kompetitif secara regional dan global.
Ke depan, ETF syariah bisa dikembangkan dengan underlying lain yang sesuai syariah, seperti komoditas agribisnis, properti wakaf produktif, hingga indeks ESG Syariah. Namun, semua itu hanya bisa tercapai bila produk ETF syariah yang pertama ini sukses.
Baca juga: Kinerja Perbankan Syariah Mei 2025: Pembiayaan Tumbuh 9,18 Persen, DPK Naik 5,99 Persen
Membangun Bursa yang Beradab
Pasar modal syariah bukan sekadar tempat jual beli efek tanpa riba. Ia adalah bagian dari cita-cita besar membangun sistem keuangan yang beradab (ethical finance) di mana uang tidak menjadi alat eksploitasi, tapi sarana kemaslahatan. Fatwa ETF syariah emas adalah perwujudan konkret dari visi ini.
Dalam momentum transformasi ekonomi nasional dan upaya memperluas inklusi keuangan, ETF syariah emas bisa menjadi ikon baru: menjembatani antara nilai spiritual, kebutuhan finansial, dan inovasi teknologi pasar. Dengan catatan: semua pihak mematuhi prinsip, bukan hanya prosedur.
Fatwa bukan sekadar dokumen hukum, tapi peta jalan (road map) etika. Dan, dengan peta inilah, ETF syariah emas maupun nonemas bisa menjelma sebagai mercusuar peradaban finansial umat. (*)










