Meski Tarif Trump Turun, Ekonom Prasasti Tetap Wanti-wanti Hal Ini

Meski Tarif Trump Turun, Ekonom Prasasti Tetap Wanti-wanti Hal Ini

Jakarta – Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan telah mencapai kesepakatan dengan Presiden Trump terkait penurunan tarif impor barang asal Indonesia ke Amerika Serikat (AS), dari sebelumnya sebesar 32 persen menjadi 19 persen.

Dalam kesepakatan tersebut, Indonesia juga disebut telah berkomitmen untuk membeli produk energi senilai USD15 miliar, produk pertanian senilai USD4,5 miliar, serta 50 unit pesawat Boeing terbaru.

Merespons penurunan tarif resiprokal dari AS, Research Director Prasasti Center for Policy Studies (Prasasti), Gundy Cahyadi, mewanti-wanti pentingnya melihat dinamika ini dalam konteks yang lebih luas.

“Tarif ala Trump lebih merupakan panggung politik ketimbang kebijakan jangka panjang yang serius. Pasar keuangan global sudah cukup terbiasa dengan gaya berpolitik teatrikal ini,” ujar Gundy, dikutip Rabu, 16 Juli 2025.

Baca juga: Simulasi Luhut: Tarif Trump Turun Bisa Naikkan Ekonomi RI 0,5 Persen

Sebagai ilustrasi, Gundy mencatat bahwa setelah Liberation Day di bulan April lalu, volatilitas pasar global melonjak—dengan indeks VIX menyentuh level tertingginya sejak pandemi. Namun pada bulan Juli, reaksi pasar cenderung mereda.

“Investor cenderung melihat ancaman tarif sebagai bagian dari pola lama: ancaman di depan layar, negosiasi di balik layar,” jelas Gundy.

Lebih lanjut, Gundy menyoroti bahwa perekonomian Indonesia tidak terlalu bergantung pada ekspor, bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN.

Ekspor ke AS hanya mencakup sekitar 10 persen dari total ekspor Indonesia. Dengan nilai ekspor tahun lalu sebesar USD290 miliar, skenario terburuk—jika akses pasar ke AS tertutup sepenuhnya—akan berdampak sekitar USD29 miliar.

“Angka ini signifikan, namun setara dengan hanya 2 persen dari total PDB Indonesia. Terasa, tapi tidak sampai mengguncang fondasi ekonomi,” tegasnya.

Baca juga: Bos BI Beberkan Dampak Positif dari Hasil Negosiasi Tarif Trump

Menurut Gundy, fokus utama Indonesia saat ini seharusnya tetap pada upaya mendorong investasi. Dengan demikian, langkah Presiden Prabowo untuk memperkuat kemitraan internasional patut diapresiasi. Indonesia telah menjajaki hubungan strategis dengan berbagai negara, termasuk bergabung dengan BRICS di awal tahun ini.

Menurutnya, keputusan Presiden Prabowo untuk tetap hadir dalam KTT BRICS meski ada tekanan dari Presiden Trump menunjukkan arah kebijakan luar negeri Indonesia yang konsisten, yaitu memperluas kerja sama, memperkuat posisi, dan menjaga ketegasan.

“Jika Trump tampil dengan drama, maka Jakarta sedang menulis naskahnya sendiri,” tukas Gundy. (*) Steven Widjaja

Related Posts

News Update

Netizen +62