Jakarta – Bank investasi global yang berbasis di New York, Goldman Sachs Group Inc. menurunkan rekomendasi untuk aset-aset investasi di Tanah Air, baik saham atau surat utang.
Hal ini lantaran Goldman Sachs memperkirakan adanya peningkatan risiko fiskal menyusul sejumlah inisiatif kebijakan di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Dinukil Bloomberg News, Senin (10/3), Goldman Sachs, menurunkan peringkat saham Indonesia dari ‘overweight‘ menjadi ‘market weight‘.
Selain itu, mereka juga menurunkan rekomendasi atas surat utang negara tenor 10-20 tahun menjadi netral. Diketahui, surat utang BUMN jadi salah satu aset paling ramai dicari oleh manajer investasi global.
Baca juga : Lini Bisnis Solid, Goldman Sachs Cetak Laba USD2,9 Miliar di Kuartal II 2024
Keputusan Goldman itu keluar usai sebelumnya memperkirakan kenaikan defisit fiskal Indonesia tahun 2025 menjadi 2,9 persen dari Produk Domestik Bruto, dari semula 2,5 persen.
Perlu diketahui, rekomendasi Goldman itu turut memperpanjang daftar penurunan rekomendasi yang telah lebih dulu dirilis bulan lalu oleh Morgan Stanley.
Di mana, mereka menurunkan rekomendasi saham MSCI Indonesia dari ‘equal weight‘ menjadi ‘underweight‘.
Lebih lanjut, Goldman menjelaskan, kondisi pasar keuangan Indonesia saat ini masih berada dalam tekanan lantaran sentiman tarif dan perang dagang global sehingga membuat investor “ketakutan” dan kabur dari pasar RI.
Baca juga : Goldman Sachs Jual Sebagian Bisnis Kekayaannya, Ada Apa?
Menurut Goldman, ketakutan para investor semakin menjadi setelah Presiden Prabowo melakuka efisiensi anggaran, disusun oleh pembentukan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) dan rencana menggeber program 3 juta rumah.
Ketiga hal tersebut menurut Goldman bakal menimbulkan potensi dalam memperlebar defisit fiskal.
“Kami melihat ruang terbatas untuk kinerja yang lebih baik dari aset fixed income,” kata Kenneth Ho dan Sandra Yeung, Ahli Strategi Goldman Sachs dalam laporannya, Jumat (7/3).
Menurut mereka, obligasi tenor panjang bakal cenderung tertekan akibat kenaikan risiko fiskal serta potensi penambahan suplai surat utang di pasar. (*)
Editor: Galih Pratama










