Jakarta – Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini menyoroti permasalahan fiskal yang makin membebani perekonomian Tanah Air, terutama terkait dengan pembengkakan utang negara.
Menurutnya, terdapat masalah fiskal yang dihadapi, yakni utang dari tahun ke tahun terus membengkak dari persentase, apalagi nominalnya.
Dari tahun 2010 sampai dengan 2024 rasio utang Indonesia terhadap PDB terus naik dari 26 persen menjadi 38,55 persen. Total utang pemerintah sebesar Rp8.473,90 triliun per September 2024.
“Ini merupakan praktik kebijakan dan ekonomi politik utang yang tidak sehat, mengikuti hukum politik di mana rezim memaksimumkan budget (teori budget maximazer) tanpa kendali, tanpa kontrol dan tanpa cek and balances yang sehat. Politik anggaran hanya refleksi dari politik yang sakit, demokrasi yang dikebiri dan dilumpuhkan selama 10 tahun ini,” ucapnya.
Baca juga: Bos BI Beberkan Nasib Penyelesaian Utang Burden Sharing 2025
Baca juga: Utang Luar Negeri RI Turun USD5,1 Miliar di Oktober 2024, Sisanya Tinggal Segini
Akibatnya kualitas belanja memburuk. Porsi membayar bunga utang menjadi paling besar dari seluruh belanja kementerian negara. Belanja pemerintah pusat semakin digerogoti pembayaran bunga utang, yang naik pesat dari 11,09 persen (2014) menjadi 20,10 persen (2024).
“Secara terus-menerus dan akan terkena dampaknya pada pemerintahan Prabowo,” pungkasnya.
Didik menyampaikan bahwa belanja non-produktif semakin mendominasi, sedangkan belanja produktif mengecil. Belanja non produktif diamati dari belanja pegawai dan belanja barang.
Tahun 2014, porsi dua belanja terebut sekitar 34 persen, naik menjadi 36 persen pada 2024. Setiap tahun untuk bunganya saja (tidak termasuk pokok) harus menguras pajak rakyat sebesar 441 trilIun rupiah untuk membayar utang. (*)
Editor: Galih Pratama