Jakarta–Bank Indonesia (BI) tengah mengkaji dan menyiapkan rancangan Peraturan BI terkait upaya meregulasi layanan keuangan berbasis teknologi infornasi (fintech) yang berpotensi memicu praktik pencucian uang (money laundering).
“Fintech teknologinya sudah maju, tetapi masih kurang melek masalah money laundering,” ujar Deputi Direktur Keuangan Inklusif BI, Ricky Satria, di Jakarta, Rabu, 21 September 2016.
Sejauh ini, kata dia, Indonesia berada pada posisi lima besar negara dengan pertumbuhan penjualan smartphone, sehingga akan mendorong peningkatan penggunaan aplikasi Fintech. “Memang belum ada negara yang meregulasi fintech. Baru negara anglo saxon yang memakai regulatory sandbox,” tukasnya.
Sehingga, lanjut dia, Bank Sentral sebagai otoritas di sistem pembayaran akan menerbitkan regulasi terkait fintech yang saat ini berkembang semakin pesat. “Kami sudah mengeluarkan regulasi e-money, Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) dan transfer dana,” ucap dia.
Dengan demikian, regulator sistem pembayaran perlu untuk mengawasi potensi praktik pencucian uang melalui Fintech. Lantaran, transaksi berbasis Fintech ini sudah lintas negara yang berisiko terjadi aksi-aksi money laundering.
Selain itu, lanjut Ricky, tanpa adanya aturan yang jelas dalam menyikapi dinamika fintech, maka akan memicu pelemahan industri keuangan akibat persaingan yang tidak sehat.
Sebagai informasi, regulasi Fintech akan diatur melalui kebijakan Penyelenggaraan Transaksi Pembayaran (PTP) yang sejalan dengan kehadiran industri fintech atau layanan keuangan berbasis teknologi, yang belakangan menjadi sangat populer seiring dengan kuatnya penetrasi internet dan masifnya penggunaan smartphone di tengah masyarakat.
Penyelenggaraan aktivitas usaha dalam model bisnis Fintech seperti penyedia internet payment gateway, penyelenggara electronic wallet, serta penyelenggara penunjang seperti terminal ATM/EDC, dan Point of Sales (POS) akan diatur dalam kebijakan PTP tersebut. (*)
Editor: Paulus Yoga