Oleh Pemimpin Redaksi Infobank Media Group Eko B. Supriyanto
RUMAH gratis. Rumah gratis. Itulah narasi yang dibangun pemerintah saat peluncuran program tiga juta rumah. Sayang, program rumah gratis ini justru malah membuat banyak developer “terkaget-kaget” karena banyak pembeli rumah membatalkan pesanan, padahal sudah memberi down payment (DP). Katanya, nunggu program rumah gratis.
Awal November 2024, Menteri Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait, ditemani oleh bos Agung Sedayu Group (ASG), Sugianto Kusuma alias Aguan, mengawali pelaksanaan program kerja 3 juta rumah yang merupakan program pemerintahan Prabowo Subianto. Proyek ini digarap di atas lahan seluas 2,5 hektare. Tanah itu adalah hibah dari PT Bumi Samboro Sukses, dan pembangunannya dikerjakan oleh ASG.
Banyak masyarakat yang kagum akan kemurahan hati pemerintah, yang akan membangun 3 juta rumah untuk rakyat miskin dengan tanah hibah. Namun, sejumlah kalangan, termasuk bankir, bertanya-tanya, apa mampu pemerintah menyediakan 3 juta rumah? Sebab, selama 10 tahun pemerintahan Jokowi saja, rumah yang dibangun pemerintah untuk rakyat tidak sampai 10 juta. Program sejuta rumah? Rasa-rasanya berat. Akan membebani subsidi APBN.
Menurut data PUPR, dari awal program sejuta rumah berjalan, yakni dalam kurun waktu 2015 hingga 2023, sudah ada 9.206.379 unit rumah yang terbangun. Plus tahun ini, data Juli 2024, sebanyak 617.622 unit atau 59,23 persen dari total target nasional. Angka tersebut meliputi capaian pembangunan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebanyak 484.119 unit dan non-MBR sebanyak 133.503 unit di seluruh Indonesia.
Kini, programnya tak lagi 1 juta rumah, tapi 3 juta rumah. Atau, tiga kalinya dari program Jokowi. Berat. Namun, Maruarar tetap gaspol. Maruarar terus menjalin komunikasi dengan banyak pihak, seperti dengan Kejaksaan tentang tanah-tanah sitaan para koruptor. Bahkan, tanah pengemplang BLBI pun dikorek-korek.
Baca juga: BTN Butuh Rp80 Triliun Bangun 800 Ribu Rumah KPR FLPP
Luar biasa. Semangat, Maruarar! Namun, sepertinya Sang Menteri tidak menyadari, bahwa mencari tanah-tanah kosong untuk program 3 juta rumah itu menyimpan sinyal buruk bagi para pembeli rumah. Pendek kata, narasi dari program 3 juta rumah berdampak buruk bagi calon pemberli rumah. Menurut Ketua DPP REI, Joko Suranto, para pembeli membatalkan pembelian rumah karena berharap akan mendapat rumah gratis dari pemerintah.
Ini akan berdampak pada industri properti. Pengembang akan kesulitan. Efeknya besar karena orang akan tidak jadi beli (atau) menunda beli karena mendengar (ada) rumah gratis. Hal ini pernah terjadi, ketika zaman COVID-19. Waktu itu, pemerintah akan memberikan stimulus PPN kepada pembeli kendaraan 1.500 cc, maka orang-orang pun menunda pembeliannya.
Sementara, dari sektor perbankan tentu juga tak sembarang mengucurkan kredit. Uang bank, uang masyarakat. Bahkan, entah karena begitu gaspol-nya, Maruarar mengusulkan pergantian nama BTN menjadi BPR atawa Bank Perumahan Rakyat. Ide ini menunjukkan minimnya Maruarar mengenai konsep perumahan, dan sejarah panjang BTN.
Ide pergantian nama BTN harus dihentikan karena tidak mudah membangun brand. Nama BTN sudah jaminan mutu bagi masyarakat yang perlu rumah. Kalau diganti menjadi BPR, tentu akan merendahkan brand BTN itu sendiri yang sudah dibangun puluhan tahun.
Pembangunan 3 juta rumah janganlah hanya omon-omon semata. Program itu harus dijalankan dengan baik dan terkonsep. Program 3 juta rumah bukan lagi janji kampanye. Ia harus diwujudkan dengan lebih cepat daripada program 1 juta rumah milik Jokowi yang tidak mudah. Hal itu bisa belajar dari sulitnya membangun rumah.
Soal lahan adalah satu hal penting, tapi soal daya beli dan infrastruktur pendukung, seperti jalan, perizinan, dan listrik, tentunya juga perlu dipikirkan. Hal-hal itu harus dibereskan lebih awal. Sebab, soal rumah tidak sekadar punya rumah. Pengalaman, rumah-rumah bersubsidi sekarang yang berada di pinggiran perkotaan banyak yang menjadi rumah hantu. Kosong. Tidak ditempati. Sia-sia.
Tantangan berikutnya adalah turunnya daya beli. PHK banyak terjadi, dan mencari kerja susah. Kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen tentu akan makin meningkatkan inflasi dan menggerus daya beli. Kenaikan 1 persen sesungguhnya menaikkan harga 9,09 persen. Bahan-bahan bangunan dan perumahan juga akan naik. Dan, akan menaikkan harga rumah. Satu sisi daya beli turun, dan di sisi yang lain harga rumah bakal naik.
Baca juga: Percepat Program 3 Juta Rumah, Pemerintah Hapus BPHTB dan PBG buat Rumah MBR
Stop narasi rumah gratis. Sudahi juga omon-omong rumah gratis. Buatlah kebijakan yang baik agar membeli dan membangun rumah bagi rakyat itu mudah. Tidak berbelit-belit dan banyak preman yang mengganggu jalannya pembangunan perumahan. Membuat kebijakan, bukan soal bagi-bagi rumah semata.
Memang benar rumah gratis itu ada, tapi mungkin tak sampai 2,5 persen dari 15 juta rumah yang akan dibangun selama lima tahun. Contohnya, program rumah gratis sumbangan Aguan di Tangerang hanya 250 rumah. Atau, jika tanah sitaan Kejaksaan di Banten, yang seluas 1.000 hektare, paling banyak hanya akan mampu dibangun tak lebih dari 30.000 rumah.
Niat membagi rumah gratis kepada masyarakat itu baik. Tapi, narasi yang dibangun terkait rumah gratis ini sangat berdampak terhadap pembelian rumah. Jadi, ada baiknya kita sama-sama memikirkan, dan tidak melakukan personifikasi tentang kemurahan hati pemerintah mengenai rumah gratis ini. Uang bank bukan uang warisan Nabi Sulaiman, tapi uang masyarakat yang harus dijaga dengan baik. (*)