Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta bank perekonomian rakyat (BPR) untuk melakukan konsolidasi atau merger. Tujuan kebijakan ini mencakup ketahanan perusahaan, pemenuhan modal inti minimum, hingga memperluas akses kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Namun, Direktur Utama PT Nusantara Bona Pasogit (NBP), Hendi Apriliyanto, menilai kebijakan ini kurang tepat sasaran. Hendi mengungkapkan, terdapat empat alasan kuat untuk meninjau ulang regulasi tersebut.
Yang pertama adalah kebijakan single presence policy (SPP) yang tidak tepat sasaran. Sebagai informasi, aturan ini meminta BPR untuk merger jika berada di pulau yang sama.
Padahal, dalam Undang-undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK), BPR hanya diminta bergabung jika mengalami kesulitan.
“Dan nggak fair-nya, BPR dengan jumlah banyak,seperti kita yang jumlahnya sampai 28, disamakan proses merger-nya dengan BPR yang jumlahnya cuma 3 BPR atau 8 BPR. Itu kan nggak fair,” kata Hendi dalam forum diskusi bertajuk “Konsolidasi dan Pengaruh Bisnis BPR terhadap UMKM”, Kamis, 28 November 2024.
Baca juga: Aturan Merger dan Pemenuhan Modal Inti Minimum BPR Perlu Direlaksasi, Ini Sebabnya
SPP, lanjut Hendi, juga sejatinya tidak menyinggung BPR sama sekali. Namun, yang menjadi target utama regulator justru para pemain di industri. Padahal, ada sejumlah pemilik bank umum yang punya lebih satu bank, namun tidak mendapat teguran apa-apa.
“Selanjutnya, BPR nanti akan kehilangan jati diri. Jika kita punya dana besar, kredit besar, modal besar, kita pasti meninggalkan UMKM. Kenapa? Karena target kita nantinya juga jadi besar,” papar Hendi.
Maksudnya, BPR-BPR ini sejatinya diciptakan untuk melayani masyarakat mikro yang tidak terjangkau oleh pasar bank umum. Namun, permintaan merger ini justru akan memaksa BPR untuk beroperasi layaknya bank umum, karena ukurannya sudah lebih besar.
Para pelaku industri memang akan mendapat peluang baru seperti melantai di bursa. Namun, Hendi merasa BPR tidak perlu mendapat privilege seperti itu, karena ini berpotensi membuat mereka kehilangan pasar yang seharusnya menjadi target utama industri.
Baca juga: Dari Generasi ke Generasi, Komitmen Universal BPR untuk Tumbuh Berkelanjutan
Hendi juga menegaskan bahwa aksi korporasi seperti merger tidak bisa dipaksakan. Jika dipaksakan, justru berpotensi merusak sistem dan tatanan ekonomi, yang nantinya menciptakan persaingan tidak sehat.
“Aksi korporasi itu tidak perlu dipaksakan. Kalau kita mau melakukan, ya kita sendiri bukan karena dipaksa ya,” tegas Hendi.
Dan terakhir, aksi merger yang dipaksakan juga berpotensi memengaruhi perekonomian daerah. Mengingat banyak BPR yang menyumbang pajak tertinggi untuk daerahnya, ini tentunya bisa berdampak kepada ekonomi tersebut, karena berkurangnya pemasukan dari sana.
Baca juga: Quick Count Pilkada 2024: Khofifah–Emil Mendominasi di Jawa Timur
Senada dengan Hendi, Edy Suandi Hamid, Komisaris BPRS Harta Insan Karimah Mitra Cahaya Indonesia (HIK MCI), mempertanyakan alasan kenapa OJK meminta BPR berkonsolidasi. Apalagi, BPR-BPR ini keberadaannya sangat dibutuhkan masyarakat mikro.
“BPR ini (prosesnya) mudah dan sederhana, dan jauh lebih murah dibandingkan dengan rentenir dan sebagainya. Akhirnya kita butuh banyak lembaga-lembaga seperti ini. Nah, kenapa harus dipaksakan merger? Itu pertanyaannya,” kata Edy.
Edy merasa, merger antar BPR ini belum tentu menciptakan sesuatu yang bagus dari sisi pengawasan. Malah, ini bisa memperburuk pengawasan dan manajemen dari sebuah BPR yang sebelumnya sudah berjalan dengan baik.
“Jangan-jangan, BPR yang sudah bagus soal kendalinya, pengawasannya, dan sebagainya, ketika disatukan, bukannya tambah baik, malah tambah buruk,” ungkapnya.
Dengan demikian, Edy berharap agar OJK mau menciptakan regulasi dan ruang lingkup supervisi yang lebih baik bagi industri BPR, alih-alih “memaksa” merger yang nantinya malah bisa mempersulit BPR. (*) Mohammad Adrianto Sukarso