Jakarta – Berbicara soal maskapai Garuda Indonesia saat ini, maka tak bisa dilepaskan dari sosok Irfan Setiaputra. Menjabat sebagai Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sejak Januari 2020, Irfan memainkan peran penting dalam memulihkan maskapai kebanggaan nasional ini dari krisis utang.
Dengan kepiawaiannya, Irfan berhasil memimpin proses restrukturisasi kinerja usaha Garuda, yang ditandai dengan diterbitkannya surat utang baru dan sukuk pada akhir 2022.
Restrukturisasi tersebut menyempurnakan berbagai langkah mendasar yang dilakukan Garuda melalui proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Baca juga: Begini Strategi Garuda Indonesia Hadapi Tantangan Ekonomi di 2024
Tidak berhenti pada restrukturisasi utang, Irfan juga merombak bisnis dan layanan Garuda. Ditemui Infobanknews di kantornya pada Selasa, 12 November 2024, ia berbagi pengalaman dalam mereformasi Garuda hingga mencapai kinerja bisnis yang membanggakan saat ini.
“Jadi, memang waktu saya masuk itu wah berat ini, utang gede, dan segala macam. Tapi memang kita pada waktu itu teman-teman manajemen duduk, coba kita strategikan satu demi satu. Saya juga selalu percaya perubahan tak pernah terjadi overnight kan. Kita pelajari satu demi satu semuanya,” ujarnya.
Ia menuturkan, pandemi Covid-19 menjadi momentum bagi Garuda untuk mengevaluasi segala aspek bisnis, dari biaya sewa pesawat yang tinggi hingga produktivitas pegawai. Menurutnya, restrukturisasi ini membuka jalan bagi Garuda untuk mencapai kesepakatan yang lebih baik.
“Jadi, memang selama Covid itu kita struggling day by day. Tapi Covid itu jadi kotak pandora buat Garuda. Kebuka semua, uang sewa pesawat besar, beli pesawat kemahalan, pegawainya banyak, produktivitasnya tak baik. Jadi, memang akhirnya waktu restrukturisasi, kita berhasil memperoleh kesepakatan,” tambahnya.
Baca juga: Tingkatkan Pengalaman Nasabah Prioritas, Bank QNB Gandeng Garuda Indonesia Tawarkan Travel Privileges
Irvan juga menekankan pentingnya memastikan masa depan Garuda yang berkelanjutan. Baginya, keberhasilan Garuda tidak hanya dari restrukturisasi bisnis melalui PKPU. Tetapi juga dari langkah-langkah srategis untuk menjadikan maskapai ini tetap kompetitif dan berkelanjutan sebagai maskapai nasional.
Restrukturisasi menjadi tonggak awal pembenahan seluruh aspek bisnis dan layanan Garuda Indonesia. Reformasi bisnis Garuda Indonesia itu bisa dilihat dari membaiknya kualitas kinerja bisnis Garuda Indonesia pada Oktober tahun ini.
Pendapatan usaha PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) naik 16,12 persen secara tahunan per Oktober 2024, dari USD2,4 miliar menjadi USD2,8 miliar atau setara Rp43,89 triliun (kurs Rp 15.677 per dolar AS).
Baca juga: Naik 16,12 Persen, Pendapatan Garuda Indonesia di Oktober 2024 jadi Segini
Lebih lanjut, dari sisi pertumbuhan EBITDA, maskapai pelat merah itu mencatatkan nilai EBITDA USD780 juta hingga Oktober 2024, atau naik 13,83 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnnya sebesar USD685 juta.
“Banyak fundamental yang kita beresin. Operations, monitoring satu demi satu, kita perhatikan lagi bisnis prosesnya, kita juga dibantu sama McKinsey. Saya juga terlibat langsung dalam proses itu. Jadi, setiap rute kita hitung sekarang profitabilitasnya,” bebernya.
Tutup Sejumlah Rute Penerbangan
Salah satu keputusan berani Irfan adalah menutup rute-rute yang merugi untuk meningkatkan efisiensi. Ia menerangkan, satu rute yang rugi itu disubsidi oleh satu rute yang untung.
Padahal, di lain sisi, membuat atau membuka rute perjalanan yang menguntungkan itu bukanlah hal yang mudah.
“Salah satunya adalah rute (yang ditutup) Jayapura-Biak. Kita sudah coba turunin harga, segala macam, tak bisa ya kita tutup. Bikin rugi gampang, terbang saja ke mana saja, kapan pun gitu kan. Tapi pada saat yang bersamaan kita harus tingkatkan utilisasi pesawat, sewa kan jalan terus walaupun tak terbang,” jelasnya.
Baca juga: Jadi Beban Perusahaan, Bos Garuda Tutup Sejumlah Rute Penerbangan
Diketahui, Garuda Indonesia sendiri resmi memangkas 97 rute penerbangan. Dari jumlah rute penerbangan 237 menjadi 140. Bahkan, ada pula rute internasional yang ditutup, seperti salah satunya rute Jakarta-London dan Jakarta-Nagoya.
“Jadi, jumlah pesawat kita tak naik signifikan. Mungkin naik 2 sampai 3 unit dibandingkan tahun lalu. Tapi kita tingkatkan utilisasi pesawat, tadinya rerata terbang 8 jam menjadi 9 jam. Bahkan, bisa 10 jam. Tapi harus dipastikan pada waktu kita naikin penerbangan pesawat itu, jumlah penumpang naik. Jadi, jumlah pesawatnya relatively sama, utilisasinya naik, isiannya naik, dan average fare-nya naik,” tegasnya.
Kemudian, dari sisi sumber daya manusia (SDM), pihaknya telah menyediakan program pensiun dini, dan mulai merekrut banyak anak muda. Irfan menegaskan, sistem rekrutmen pun tak melihat latar belakang identitas maupun tempat asal. Keberagaman menjadi asas utama yang mencerminkan keberagaman Nusantara.
“Kita memastikan bahwa keberagaman terjadi. Jadi, ada Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu. Ada yang dari kota besar, kota kecil, kampung. Tidak boleh semuanya dari kota besar,” tukas Irfan.
Baca juga: Sosok Wamildan Tsani, Bos Lion Air yang Digadang-gadang Jadi Dirut Garuda Indonesia
Atas prestasi Irfan dalam keberhasilannya melakukan restrukturisasi, Infobank Media Group menobatkannya sebagai The Best CEO of the Year 2024. Penghargaan tahunan Infobank ini menjaring lebih dari 1.500 CEO dari perusahaan publik dan non publik berpengaruh. (*) Steven Widjaja