Jakarta – Pemerintah Indonesia di bawah arahan Presiden Prabowo Subianto menjajaki kesempatan untuk bergabung dengan BRICS atau kelompok negara-negara berkembang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok (China), dan Afrika Selatan (South Africa).
Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian, Edi Prio Pambudi mengatakan, Indonesia merupakan negara bebas aktif dalam setiap forum internasional yang dihadiri.
“Iya. Apa pun forumnya, kalau diundang Indonesia harus hadir. Cuma kita perlu dalami setiap proses di dalam sebuah forum, tentunya apapun, tetap harus ada pertimbangan secara komprehensif. Karena visi Indonesia jelas, ada di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 45, bebas aktif,” jelasnya kepada wartawan di kantornya, Jakarta, Jumat 25 Oktober 2024.
Artinya, kata Edi, negara bebas aktif itu bisa saja di pihak manapun selama untuk kepentingan nasional dan bermanfaat bagi negara.
Baca juga: Airlangga Beberkan Rencana Prabowo Terkait RI Gabung BRICS, Berikut Untung-Ruginya
Menurutnya, meskipun BRICS dan OECD sama-sama organisasi internasional, kedua forum tersebut memiliki peran yang berbeda.
Sebelumnya, memang Indonesia juga berencana untuk menjadi anggota OECD. Di penghujung masa jabatan Jokowi, pemerintah menyatakan tengah merampungkan berbagai persyaratan untuk aksesi menjadi anggota OECD.
“OECD itu adalah lembaga benchmarking untuk standar. Bukan trade block, makanya di dalam OECD tidak ada perundingan. Yang ada adalah diskusi, konsultasi,” timpal Edi.
Edi menyatakan, pembentukan BRICS memiliki sejarah yang berbeda, yang kini berkembang dengan fokus yang lebih luas. Indonesia sebelumnya juga pernah ditawari untuk bergabung dengan BRICS, tetapi memilih untuk mempertahankan posisinya sebagai middle power.
“Kita posisinya seperti di G20, kita middle power, di tengah. Makanya kita menjaga supaya kita selalu bisa menjadi connectors, menjadi jembatan antara semua blok,” pungkas Edi.
Baca juga: Negara Anggota BRICS Serukan Israel Hentikan Perang Berdarah di Gaza
Adapun wacana mengenai langkah BRICS yang fokus pada dedolarisasi, Edi menegaskan bahwa Indonesia lebih berfokus pada efisiensi ekonomi.
“Kalau kita sebenarnya melihatnya adalah efficient economy. Bagaimana mencari selalu peluang-peluang yang membuat ekonomi kita efisien. Tidak kemudian hanya spesifik bicara politik untuk memihak ini, memihak itu,” tegasnya.
Di mana di Indonesia telah mengembangkan transaksi dengan mata uang lokal atau local currency transaction (LCT) sebagai salah satu langkah efisiensi ekonomi.
“Tujuan utamanya lebih kepada efficient economy. Bukan masalah kita sensitif dengan sebuah currency,” bebernya.
Ia menegaskan, Indonesia tak ingin terbawa oleh manifesto yang mengarah kepada ketidakseimbangan dalam perekonomian nasional. (*)
Editor: Yulian Saputra