Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group
OMAR Abdalla, bankir senior, di era 1980-an, pernah mengatakan, bank not only follow the business, but bank should able to create the business. Bank tidak hanya mengikuti bisnis semata, tapi juga bisa menciptakan bisnis.
Bankir-bankir lebih banyak menikmati laba, yang tidak hanya main di kredit aman, tapi juga menikmati laba dari “tulang belulang” kredit macet yang sudah dihapus buku – yang sudah diberi cadangan melebihi batas normal – dengan banyak alasan yang dibuat-buat. Misalnya yang klasik diucapkan untuk alasan transformasi. Atau, ingin menyebut masa lalu itu buruk dengan rasa “dendam”.
Besar kecilnya laba bisa diatur, apalagi menjelang akhir masa jabatan. Maka, muncullah mazhab bankir cap “celengan semar”. Ramai-ramai “memecah” celengan semar untuk laba yang mengagumkan. Bahkan, pada masa-masa awal mereka duduk menjadi orang nomor satu, segala sumpah serapah tentang kredit, dan tentu banyak hal, dilimpahkan ke manajemen lama. Pokoknya, pemimpin masa lalu dan seluruh timnya salah.
Sumpah serapah kesalahan itu diterjemahkan dengan menurunkan laba. Praktik bumi hangus kredit dijalankan, dengan menurunkan kualitas kredit – dan mengecilkan laba. Pemberian pencadangan yang kadang berlebihan.
Lalu, dibiarkan selama setahun, atau dua tahun. Nah, ketika memasuki tahun ketiga, pencadangan yang berlebihan itu dipecah menjadi laba yang fantastis. Seolah-olah prestasi, padahal laba itu terbuat dari tulang belulang manajemen sebelumnya.
Bahkan, karena ingin mendapatkan perpanjangan periode menjabat, biaya karyawan yang harusnya menjadi bonus diisap pula menjadi laba dan pada akhirnya bankir cap “celengan semar” ini kelabakan karena celengan cadangan mulai tipis.
Di saat kondisi normal, bankir celengan semar akan menurunkan cost of fund dengan membuang deposito berbunga tinggi, itu tidak salah. Bankir hebat, dia bisa mengoptimalkan pendapatan treasury karena sebagai bank besar tentu menjadi market leader, sehingga ketika terjadi ekspansi kredit tidak kelabakan mencari dana dengan bunga tinggi yang tentu akan mengguncang pasar.
Model seperti itu bisa jadi akan terulang lagi. Istilahnya akan terjadi hukum karma. Saat ini, cara-cara bumi hangus sudah menjadi model. Jika tidak percaya, coba lihat bila ada pergantian salah satu tim direksi bank pelat merah. Pasti penggantinya akan melakukan hal yang sama, karena pola seperti ini “nyaman” dan sudah terbukti hasilnya. Satu guru, satu ilmu.
Sementara, posisi capital adequacy ratio (CAR) tetap dibiarkan besar, melebihi best practice di seluruh perbankan di dunia. Seperti lazy bank – posisi CAR tinggi melebihi best practice yang ada di dunia.
Zaman sudah berubah. Lingkungan bisnis juga sudah berubah. Di lain sisi, regulasi ketat sudah mengikat erat bank-bank. Tidak ada sejengkal pun kesempatan untuk berbuat macam-macam. Tidak seperti zaman ketika aturan masih longgar. Namun, ada yang tidak atau belum juga berubah, selalu ada, yaitu cara menciptakan laba. Tidak berubah selama 15 tahun terakhir ini, khususnya di bank-bank pelat merah.
Hari-hari ini, ada beberapa hal yang harus dikerjakan oleh para bankir untuk menyelesaikan kewajibanya ke pihak otoritas. Beberapa hal itu antara lain penyelesaian recovery plan, resolution plan, perlindungan data pribadi nasabah, rencana bisnis bank (RBB), aksi keuangan berkelanjutan, dan menyangkut cybersecurity.
Sementara, lingkungan berusaha sudah berubah. Pertumbuhan ekonomi yang lima koma, tidak mampu meningkatkan kualitas penciptaan tenaga kerja. Pertumbuhan kredit, seperti terlihat dari data-data, tidak lagi menjadi mesin pertumbuhan ekonomi. Sejak 2015, pertumbuhan ekonomi negara kita lebih banyak didorong oleh penciptaan utang negara.
Buktinya, berapa pun pertumbuhan kredit, mau double digit atau single digit, tetap saja pertumbuhan ekonomi dalam kisaran lima koma. Hal ini berbeda dengan kondisi sebelum 2015. Ketika itu, pertumbuhan kredit dapat mendorong pertumbuhan ekonomi karena laju utang negara tidak begitu cepat. Tidak begitu lekas membesar seperti sekarang.
Namun, bagaimanapun, pertumbuhan kredit tetaplah diperlukan, meski banyak aturan yang mengikat dan lingkungan berusaha yang terus berubah. Bahwa bank-bank itu tugasnya ialah memberikan kredit kepada dunia usaha yang membutuhkan. Namun, memang sering kali ekspansi kredit selalu mengikuti kredit yang sudah ada. Jarang bank memberikan kredit kepada proyek-proyek baru.
Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per Agustus 2024, secara year on year (yoy) pertumbuhan kredit mencapai 11,40 persen dan secara year to date (ytd) mencapai 5,89 persen. Jelas, ini pertumbuhan yang baik. Namun, dari sisi likuiditas tampaknya agak ketat, karena pertumbuhan dana yoy hanya mencapai 7,01 persen dan 2,27 persen secara ytd.
Meski kredit melaju dengan kencang, non performing loan (NPL) tampak tak berubah banyak. NPL (net) terjaga pada posisi 0,78 persen dan 2,26 persen untuk NPL gross. Tampak dari sini kualitas kredit tetap terjaga. Lebih menggembirakan lagi, posisi loan at risk (LAR) makin menurun menjadi 10,17 persen dari 12,55 persen pada akhir 2023 lalu.
Membuat cadangan yang besar tentu tidaklah salah. CAR yang tinggi juga tidak keliru. Namun, belakangan ini, pencadangan yang besar bukan semata-mata untuk menahan risiko, melainkan sudah menjadi “celengan semar” yang akan diunduh menjadi laba untuk menegaskan kepada publik bahwa ia adalah bankir jempolan.
Saat ini, melihat zaman dan juga lingkungan bisnis yang sudah berubah, diperlukan bankir seperti gambaran Omar Abdalla – yang bukan sekadar mengikuti bisnis, tapi juga mampu menginisiasi bisnis secara cerdas. Namun, prinsip kehati-hatian mesti dijalankan dengan baik.
Bahwa sekarang daya beli merosot, memang betul. Tapi, bankir itu ya berbisnis dengan risiko. Kalau bawaannya takut, tentu tak patut disebut sebagai bankir andal. Julukan yang tepat adalah bankir safety player atau istilahnya bankir cap “celengan semar”. Ia sukses karena menikmati “tulang belulang” kredit dari pendahulunya. Bankir yang hebat adalah bankir yang tidak hanya sukses mencetak laba besar, tapi juga mampu dan mau menggelontorkan kredit yang memberi impact pada peningkatan ekonomi dan pada akhirnya daya beli masyarakat.
Banyak yang menyebut, bankir yang lebih suka melakukan reversal dari pencadangan digolongkan sebagai “bankir konservatif”. Atawa bankir cap “celengan semar”, atawa juga “bankir yang agresif dalam pengelolaan laba”.
Mereka mungkin lebih fokus pada pencapaian laba jangka pendek dengan mengurangi cadangan yang telah dibentuk, meskipun hal itu dapat berisiko jika kualitas kredit bermasalah meningkat. Pendekatan ini bisa menciptakan tantangan dalam menjaga kesehatan keuangan bank di masa depan.
Nah, jika kualitas kredit memburuk maka dampak jangka panjang akan muncul. Misalnya, kesehatan keuangan akan sedikit tampak tidak cantik, dan biaya modal juga akan meningkat. Bank dalam jangka pendek terlihat mencetak laba, tapi cadangan yang menyusut akan menimbulkan tanda tanya besar dari investor. Apalagi, perolehan net interest margin (NIM) mulai tergerus.
Jadi, memperhatikan keseimbangan antara pencapaian laba dan pengelolaan risiko adalah kunci untuk keberlanjutan dan kesehatan jangka panjang bank-bank. Ekspansi kredit digunakan untuk meningkatkan kapasitas dan bukan untuk memperkecil persentase NPL.
Pemerintahan Prabowo Subianto tentu punya strategi tersendiri dalam menangani badan usaha milik negara (BUMN), terutama bank-bank pelat merah. Hampir bisa dipastikan Tim Prabowo akan merombak direksi bank-bank pelat merah di 2025. Pemerintahan Prabowo tentu tidak ingin bank-bank pelat merah yang tampak labanya terus mendaki namun dengan banyaknya write off dan dengan memecah celengan semar. Tentu ingin memperbaiki.
Bank-bank diharapkan selain dapat mendorong perekonomian dengan pemberian kredit yang berkualitas, juga dapat mendukung penciptaan tenaga kerja dan sekaligus bisa menjadi pionir dalam merangsang investasi baru untuk pertumbuhan ekonomi 8 persen. Kredit perbankan harus dikembalikan ke khitahnya, yaitu dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Pencapaian laba adalah penting. Namun, lebih penting daripada itu, seberapa besar kredit mampu menciptakan lapangan kerja yang saat ini rendah.
Era bankir cap “celengan semar” sudah berakhir. Dan, itu dimulai dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apalagi, ketika zaman Prabowo belum jadi presiden pun sudah dipersulit untuk mendapatkan askes kredit karena dinilai tidak layak secara aturan, meski punya kolateral yang memadai.
Kini Prabowo menjadi presiden. Tentu dia punya cara bagaimana menyelesaikan “zona nyaman” para bankir. Carilah bankir yang bisa membawa banknya seperti yang disebutkan Omar Abdalla di era 1980-an. Bahwa “bank not only follow the business, but bank should able to creat the business.
Sudah saatnya era bankir dengan stempel “celengan semar” itu diakhiri, yang hidup dari tulang belulang kredit macet dan nyaman dengan CAR yang terlalu besar – yang seharusnya bisa diguyurkan ke masyarakat/pelaku usaha dalam bentuk kredit. (*)