Jakarta – Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mendatang dinilai harus mengeluarkan kebijakan yang cermat di tengah situasi geopolitik yang memanas. Terutama, dalam menggenjot ekonomi Indonesia yang masih stagnan di level 5 persen.
Teguh Dartanto, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) menjelaskan, persoalan utama ekonomi Indonesia terjebak di level 5 persen lantaran lebih mengandalkan konsumsi domestik serta perekonomian yang sifatnya ekstraktif bukan perekonomian berbasis sumber daya manusia, pengetahuan dan inovasi
“Ini yang membuat pertumbuhan ekonomi sulit bergerak di atas 5 persen. Oleh karena itu, fokus pemerintah adalah mendorong produktivitas tenaga kerja dan mendorong berbagai macam inovasi,” jelas Teguh kepada Infobanknews.
Dia menjelaskan, untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul dan berkualitas, sehingga Indonesia bisa meningkatkan atau beralih dari produksi dan menciptakan low technology seperti industri pakaian dan makanan, menuju Indonesia sebagai basis produksi untuk produk medium-high technology seperti elektronik.
Di sisi lain, menurut Teguh, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas harus mampu menyerap tenaga kerja. Oleh karenanya, pemerintah harus fokus pada industri-industri padat karya, bukan padat modal.
“Hilirisasi di sektor pertambangan sifatnya padat modal sehingga dampak dari pertumbuhan ekonomi dirasakan oleh investor dibandingkan oleh tenaga kerja,” ujarnya.
Baca juga: Menilik Peran APBN dalam Melindungi Rakyat dan Topang Ekonomi RI
Selain itu, kata Teguh, SDM Indonesia belum sepenuhnya mendukung untuk hilirisasi yang sifatnya high technology. Makanya, pemerintah harus sungguh-sungguh untuk melakukan hilirisasi sektor pertanian, perkebunan dan kelautan.
“Sektor-sektor ini sifatnya padat karya dengan teknologi yang sudah dikuasai oleh Indonesia,” ujarnya.
Sementara menurut Teguh, penciptaan lapangan pekerjaan yang layak merupakan kunci meningkatkan daya beli masyarakat dan menghindari penurunan kelas menengah. Di mana, konsep dasar pemberdayaan masyarakat, yakni bisa mendorong aktivitas ekonomi kelas menengah, bukan sekadar konsep ‘ikan-kail’ tetapi ‘ikan-kail-pelampung’.
“Konsep pemberdayaan masyarakat atau mendorong aktivitas ekonomi kelas menengah bukan hanya ikan-kail tetapi ikan-kail-pelampung. Ikan melalui bantuan sosial, kail melalui insentif atau bantuan yang sifatnya produktif, sedangkan pelampung melalui perlindungan ketenagakerjaan seperti jaminan kecelakaan dan kematian, sehingga mereka dapat bekerja dengan keras tanpa cemas,” ujarnya.
Pertumbuhan Tabungan Kelas Bawah dan Menengah-Bawah
Sementara, saat ini pertumbuhan tabungan pada tiering saldo kecil mengalami tekanan. Justru, pertumbuhan akseleratif terjadi pada tabungan tiering saldo besar yang berasal dari korporasi dan institusi.
Anton Hendranata Chief Economist Bank Rakyat Indonesia (BRI), menjelaskan jika dilihat dari tabungan per tiering, khususnya saldo besar yang berasal dari korporasi memang mengalami pertumbuhan. Hanya saja, pada pertumbuhan tabungan tiering saldo kecil tekanan.
“Kalau kita lihat tabungan tier saldo besar, korporasi dan sebagainya, itu masih tumbuh oke. Tapi, kalau kita lihat pertumbuhan tier saldo kecil, itu mengalami tekanan, terutama yang Rp100 juta ke bawah. Udah “mantab” (makan tabungan) banget,” ujar Anton dalam Focus Group Discussion (FGD) Infobank “Banking & Finance Outlook 2025 di Jakarta, 12 September 2024.
Berdasarkan data Census and Economic Information Center (CEIC), Anton menjelaskan pertumbuhan tabungan tiering di bawah Rp100 juta pada kuartal II 2024 berada di level 4,51 persen, turun dari kuartal sebelumnya yang sebesar 7,30 persen.
Pun demikian dengan tabungan tiering Rp100 juta hingga Rp200 juta. Tercatat per April 2024 berada di level 4,72 persen, turun jika dibanding kuartal sebelumnya sebesar 4,04 persen.
Baca juga: Ini Bukti Nyata Pentingnya Peran Kelas Menengah untuk Ekonomi Indonesia
Secara riil, Anton menambahkan, pertumbuhan tabungan masyarakat kelas bawah dan menengah-bawah juga relatif lebih tertekan dibandingkan dengan kelas atas. Pertumbuhan tabungan riil kelas bawah dari perode 2013 – 2019 rata-rata berada di level 3,7 persen. Sedangkan per April 2024, pertumbuhannya kini di bawah rata-rata, yakni 2,7 persen.
Adapun pertumbuhan tabungan riil kelas menengah bawah per April 2024 berada di level 1,6 persen. Ini juga berada jauh dari pertumbuhan rata-rata tabungan riil kelas menengah bawah selama periode 2013 – 2019 yang sebesar 5,1 persen. Sedangkan pertumbuhan tabungan riil kelas menengah atas berada di level 2,9 persen dan tabungan riil kelas atas di posisi 6,7 persen per April 2024.
“Ini saya coba riil-kan dengan nominal. Ini cenderung tertekan. Kelas bawah tertekan, di bawah garis rata-rata. Kemudian, menengah-bawah tertekan juga. Yang bagus kelas atas dalam hal ini. Makanya, perbankan berlomba-lomba mengejar yang kelas atas. Tapi kan, pertarungannya akan sangat berat,” jelasnya. (*)