Seberapa Untung Skema Cost Recovery Dongkrak Investasi Migas di RI?

Seberapa Untung Skema Cost Recovery Dongkrak Investasi Migas di RI?

Jakarta – Direktur Center for Energy Policy, Muhammad Kholid Syeirazi menilai, skema cost recovery pada industri minyak dan gas bumi (migas) memiliki prinsip berbagi beban atau sharing the pain yang adil, bagi kontraktor maupun pemerintah.

Menurutnya, pada cost recovery juga terdapat sistem dan proses yang ketat. Karena itulah, skema cost recovery juga sesuai diterapkan di Indonesia dibandingkan gross split. Sebab, saat ini sumur-sumur di dalam negeri sudah tergolong mature, sehingga membutuhkan biaya yang besar untuk tetap mempertahankan produksi.

“Cost recovery paling fair, apalagi sumur-sumur kita sudah tergolong mature. Butuh biaya besar untuk mempertahankan produksi,” kata Kholid, dikutip Sabtu, 22 Juni 2024.

Menurut Kholid, skema cost recovery memang paling memungkinkan untuk mendongkrak produksi. Apalagi, saat ini Pemerintah memiliki target produksi 1 juta barel per hari pada 2030.

Baca juga: BI: PMI Sumbang Devisa hingga USD14,2 Miliar, Terbesar Kedua Setelah Ekspor Migas

“Kalau kita misalnya punya program untuk menggenjot 1 juta barel per hari produksi minyak di tahun 2030 misalnya, tapi tidak didukung cost recovery itu tidak mungkin. Itu mustahil,” jelasnya.

Apalagi kata dia, industri migas tidak bisa dipahami dengan prinsip ekonomi umum. Bagaimana contohnya? Misal saja, kontraktor yang sudah menginvestasikan dana Rp1 triliun pun belum tentu memperoleh minyak.

Tidak hanya itu, Kholid juga mengingatkan, kondisi sekarang jauh lebih sulit dibandingkan beberapa waktu lalu. Saat ini, semakin sulit mencari minyak dan semakin dalam. Juga, pencarian semakin ke timur dan semakin offshore.

“Ini kan juga masalah kita sekarang, bahwa we are going out of easy oil and gas. Kita ini sudah lewat masa minyak dan gas murah, kita semakin sulit mencari minyak,” bebernya.

Tak kalah penting kata dia, sumur-sumur di Indonesia sekarang sudah lebih banyak air dibandingkan minyak. Dengan demikian, untuk mengangkat minyak tersebut, membutuhkan usaha dan teknologi yang mahal.

Baca juga: Ditopang Sektor Non Migas, Impor Mei 2024 Naik 14,82 Persen Jadi USD19,40 Miliar

Karena itulah, sangat wajar jika terdapat kontraktor yang ingin kembali berubah dari skema gross split menjadi cost recovery. Karena tanpa cost recovery, kontraktor migas seperti tidak mendapat insentif untuk merambah ke wilayah green field atau sumur dan cadangan baru. Mereka akan lebih senang bermain di area brown field atau sumur-sumur yang sudah dikembangkan.

“Makanya ketika skema cost recovery berubah menjadi gross split, sangat tidak menarik bagi kontraktor hulu migas. Dan jika itu terjadi terus-menerus, pada saatnya bisa membuat penerimaan negara dari sektor migas menurun,” pungkasnya.

Mekanisme Fiscal Form

Pembahasan antara kedua skema biaya operasional tersebut, belakangan memang mengemuka. Termasuk mekanisme perbaikan fiscal term, ketika skema gross split dalam kontrak diubah kembali menjadi cost recovery.

Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI dan PT Pertamina (Persero) pekan lalu misalnya, Wakil Direktur Utama Pertamina Wiko Migantoro mengatakan, sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) Indonesia menunjukkan tanda-tanda akan mengalami kenaikan produksi.

Untuk itu, dibutuhkan dukungan untuk memperbaiki fiscal term di sektor hulu migas. Melalui perbaikan fiscal term, diharapkan bisa mendorong optimalisasi produksi migas.

Sebelumnya, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto juga membenarkan bahwa akan ada perubahan pada sejumlah wilayah kerja migas. Dari sebelumnya gross split menjadi cost recovery.

“Karena gross split, terasa betul KKKS tidak bisa bergerak melaksanakan aktivitas. Oleh karena itu, mereka mengajukan perubahan ke cost recovery,” pungkasnya. (*)

Related Posts

News Update

Top News