Jakarta – Saat ini, banyak Bank Perekonomian Rakyat/Syariah (BPR/BPRS) tengah mempertimbangkan opsi merger dengan bank umum yang memiliki permodalan jauh lebih besar. Hal ini untuk memenuhi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) terkait kepemilikan tunggal atau single presence policy.
Selain itu, penggabungan atau merger ini bisa juga untuk memenuhi Peraturan OJK (POJK) Nomor 05/POJK.03/2015 yang mensyaratkan institusi BPR untuk memenuhi ketentuan modal inti minimum Rp6 miliar sebelum 31 Desember 2024. Sementara untuk BPRS sebelum 31 Desember 2025.
Baca juga: Perbarindo Blak-blakan Soal Tantangan Internal dan Eksternal Industri BPR
Merespons hal itu, Vice President Director PT Rintis Sejahtera, Suryono Hidayat menegaskan ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan BPR/BPRS sebelum merger dengan bank umum. Pertama, terkait biaya yang harus dikeluarkan selama proses merger.
“Jadi, bank induk itu banyak. Silakan membandingkan mana yang mudah, mana yang sulit. Pricing (harga) itu juga kita perlu lihat, dari sisi sistem maupun kehandalan settlement. Ataupun bisa dilihat dari sisi keuntungan-keuntungan penyaluran kredit dan lainnya,” ujar Suryono saat seminar bisnis BPR: Transformasi dan Roadmap Pengembangan BPR/BPRS 2024-2027 dan Penganugerahan Top 100 BPR The Finance 2024 di Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta, Jumat (21/6).
Baca juga: OJK Ungkap Tiga Tantangan yang Dihadapi Industri BPR, Apa Saja?
Ia mengingatkan, bergabung dan dimiliki bank induk bukan hanya soal sistem, namun ekosistem, yakni bagaimana menguntungkan untuk sisi bank induk, tapi juga bisa menguntungkan institusi BPR/BPRS yang berada di bawah naungannya. Dari sisi bisnis, ia tekankan, perlu dipertimbangkan secara serius oleh para pelaku BPR/BPRS sebelum gabung ke bank induk.
“Umpama, settlement-nya di bank induk kan, dapat bunga tidak? Tanyain. Kalau settlement dari sini free-free saja, bapak-ibu kan tidak mendapatkan keuntungan juga. Jadi, itu salah satu negosiasi,” tukasnya. (*) Steven Widjaja