Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank
SRI Mulyani Indrawati (SMI), Menteri Keuangan RI, melaporkan ada dugaan fraud di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Nilainya mencapai Rp2,5 triliun. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut ada kerugian negara Rp3,4 triliun. Sepanjang lima tahun terakhir, LPEI atau EximBank telah berkali-kali disuntik modal lewat penyertaan modal negara (PMN).
Pendek kata, LPEI bak “kecanduan” PMN, atawa pakai uang negara yang dipungut dari pajak. Menurut data Biro Riset Infobank (birI), sejak 2010-2021 LPEI sudah menghabiskan uang negara lewat PMN sebesar Rp28,7 triliun. Sudah bongkar-pasang manajemen, tetap saja tidak sembuh-sembuh. Justru, kini malah terdengar kabar ada fraud di lembaga tersebut.
Apakah karena di bawah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sehingga LPEI mudah sekali mendapat semacam “bailout” dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Pelaporan dugaan pembobolan di LPEI versi SMI ini kabarnya juga akan dilanjutkan lagi. Menurutnya, dalam waktu dekat, pihaknya akan melaporkan enam debitur lagi. Empat debitur yang dilaporkan ke Kejaksaan Agung (Kejagung) karena fraud itu adalah PT RII Rp1,8 triliun, PT SPV Rp144 miliar, PT SMS Rp216 miliar, dan PT PRS Rp305 miliar. Sebelum empat debitur yang dilaporkan ke Kejagung, menurut catatan Infobank, pada 2022 ada delapan terdakwa yang sudah diputus pengadilan akibat “sengkarut” kredit di LPEI.
Baca juga: Usut Tuntas Dugaan Korupsi LPEI, Pengamat Tekankan Sinergitas KPK dan Kejagung
Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2009 tentang LPEI, jika dibandingkan dengan bank pada umumnya, LPEI lebih memiliki ruang gerak pembiayaan yang fleksibel sehingga dapat mendukung percepatan pertumbuhan ekspor nasional. Bahkan, LPEI merupakan lembaga khusus di bawah Kemenkeu yang memiliki mandat menyediakan pembiayaan ekspor nasional dalam bentuk pembiayaan, penjaminan, termasuk asuransi, serta jasa konsultasi.
Menurut data Biro Riset Infobank, pada September 2023, pembiayaan yang diberikan LPEI terus merosot menjadi Rp74,522 triliun dibandingkan dengan pada akhir 2022. Jangan dibandingkan dengan akhir 2018 yang ketika itu terjadi puncak pembiayaan LPEI mencapai Rp120,071 triliun. Namun, malapetaka terjadi pada akhir 2019 ketika LPEI “jeblok” alias rugi Rp4,7 triliun. Sejak itu, peran pembiayaan LPEI terus turun hingga saat ini. Sempat meraih untung di 2020 dan 2021. Tapi, akhir 2022 kembali jebol “kobol-kobol” sebesar Rp3,114 triliun.
Boleh jadi, keuntungan yang dipetik LPEI pada 2020 dan 2021 itu akibat memecah “celengan semar” dari cadangan kerugian. Pada 2023 (tepatnya September 2023), LPEI kembali meraih laba Rp94,763 triliun dan belum diketahui untuk posisi akhir 2023 karena belum diumumkan laporan keuangan publikasinya.
Jika melihat laporan keuangan selama 10 tahun terakhir, posisi pembiayaan LPEI (September 2023) masih lebih rendah jika dibandingkan dengan pada akhir 2015. Laporan keuangan LPEI membaik terjadi ketika ada PMN dari APBN. Setelah itu “jontor” lagi “dipukul” debitur eksportir maupun yang mengaku eksportir. Bisa jadi, pola pemberian pembiayaan juga sama.
Menurut catatan Infobank Institute berdasarkan struktur aset LPEI, LPEI tak hanya bersaing dengan Bank Mandiri dan BNI, tapi juga dengan bank-bank asing. Harusnya LPEI support bank-bank BUMN melakukan penjaminan misalnya, fokus pada transaksi derivatif ekspor-impor yang lebih menguntungkan dengan mitigasi risiko yang lebih baik. Jasa konsultasi belum terbukti banyak dijalankan.
Harus diakui, mengucurkan pembiayaan ekspor itu tampak lebih cepat dan mudah. Akan tetapi, bisa jadi, yang didapat hanya debitur KW2 – karena nasabah premium lebih memilih bunga rendah yang diberikan para pesaing LPEI, seperti Bank Mandiri dan BNI. Harusnya LPEI tak bersaing ketat dengan bank.
Jadi, untuk apa mempertahankan LPEI – yang, jujur saja, tak banyak melahirkan eksportir-eksportir UMKM baru. Memang benar dampak pembiayaan LPEI terhadap investasi itu ada, dan tentu juga kontribusinya terhadap penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Namun, duit APBN yang disuntikkan ke LPEI itu terlalu besar. PMN “ngocor” terus ke LPEI hingga tembus Rp28,7 triliun. Nyatanya, itu tak membuat LPEI sesuai dengan yang dicita-citakan.
Baca juga: OJK Dukung Penyelesaian Dugaan Fraud 4 Debitur LPEI Lewat Jalur Hukum
Jalan keluarnya adalah, LPEI harus dibersihkan dari debitur-debitur “sontoloyo”. Juga debitur “buaya”. Setelah “bersih”, ada baiknya LPEI “dicaplok” atau dimerger dengan bank BUMN seperti Bank Mandiri atau BNI. Tapi, tentu tidak menyertakan “sampah” kredit macet LPEI yang masih relatif besar itu. Harus dipisahkan lebih dulu mana bad bank dan mana good bank.
Jujur, PMN ke LPEI sebesar Rp28,7 triliun itu, jika dibuat bangun waduk maka akan terbangun 10 waduk. Atau, akan mengairi sawah seluas 300.000 Ha. Itu akan menghasilkan 1,5 juta ton beras. Masihkah Indonesia membutuhkan LPEI jika kondisinya terus-menerus bak “kecanduan” PMN yang notabene uang negara.
Tak ada keledai yang jatuh di lubang yang sama. Jadi, jangan ada lagi PMN untuk menambal bolong yang sama (kredit macet). Jalan keluarnya ya tadi, diserahkan ke bank-bank BUMN yang lebih mumpuni. (*)