Bank Sistemik dan Bank Bukan Sistemik

Bank Sistemik dan Bank Bukan Sistemik

oleh Eko B. Supriyanto

 

 

BANK gagal berdampak sistemik pernah menjadi bahasan paling populer di Indonesia ketika terjadi krisis pada 2008. Bank Century yang ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik menjadi bulan-bulanan parlemen dan pengamat yang berbeda dengan pemerintah. Selama lima tahun, pembahasan bank berdampak sistemik tak berujung. Akhirnya berhenti ketika pemerintahan SBY digantikan oleh pemerintahan Jokowi.

Kasus bailout Bank Century adalah kasus politik yang dikemas sebagai sebuah skandal. Kita kehilangan waktu selama lima tahun hanya untuk membahas soal pepesan kosong. Belakangan publik menyadari bahwa kasus Bank Century hanyalah bermotif politik, yang digoreng hingga tak jelas mana yang salah dan mana yang benar. Energi kita habis untuk membicarakan yang tak pernah ada. Terjadi politisasi kebijakan.

Berkaca pada kasus Bank Century, sekarang ini ada perkembangan baru. Sejalan dengan disahkannya undang-undang (UU) Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), maka akan lebih awal diketahui bank mana yang masuk kategori sistemik dan nonsistemik. Pada awal tahun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut ada 20 bank yang masuk kategori domestic systematically important bank (DSIB). Namun, pada akhir Juli lalu disebut-sebut hanya ada 12 bank yang masuk kategori sistemik.

Jumlah bank di Indonesia saat ini sebanyak 118 bank. Tidak semua bank asing, yang jumlahnya 10 bank, masuk kategori sistemik. Bank-bank asing yang di tingkat global sudah masuk kategori sistemik maka dengan sendirinya tak masuk kategori sistemik bank versi otoritas, seperti Citibank, Standard Chartered Bank, Mitsubishi Bank of Tokyo, serta Deutsche Bank dan HSBC.

Bank-bank mana yang akan menjadi sistemik sudah jelas. Bank itu bank BUKU 4 dan BUKU 3. Bank-bank yang masuk sistemik itu ada kriterianya. Sampai dengan saat ini, OJK atau lembaga lain belum pernah mengeluarkan kriteria bank berdampak sistemik. Menurut catatan Infobank Institute, kriteria bank berdampak sistemik yaitu jumlah aset dan yang besar, kompleksitas produk yang beragam dengan konglomerasi keuangan. Tidak hanya itu, apakah keterkaitan dengan bank lain cukup besar dan apakah posisi bank tersebut tidak tergantikan jika terjadi penutupan.

Penetapan bank yang masuk kategori berdampak sistemik ini secara berkala akan dievaluasi. Artinya, bank yang masuk kategori ini berubah-ubah secara berkala. Status bank berdampak sistemik tidak permanen, tergantung apakah bank pada periode tertentu sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh OJK.

Sementara itu, bank yang tidak masuk kategori bank nonsistemik, menurut UU PPKSK, jika terjadi kegagalan terhadap bank nonsistemik karena krisis masih dikaji, mana yang lebih murah jika ditutup atau diselamatkan. Misalnya, bank A yang gagal ketika krisis, kalau diselamatkan membutuhkan suntikan sebesar Rp6,7 triliun, tapi kalau ditutup harus mengganti dana pihak ketiga sebesar Rp9 triliun, maka kebijakan cenderung untuk menyelamatkan bank A yang tidak berdampak sistemik. Namun, jika sebaliknya lebih kecil dan tak punya harapan hidup, maka akan ditutup.

Pola penyelamatan bank yang berdampak sistemik juga sudah berbeda. Sebelumnya dengan konsep bailout, tapi sekarang menjadi bail-in. Itu artinya pemegang saham dan kreditor juga ikut bertanggung jawab untuk menambah modal atau menjadikan simpanan sebagai modal penyertaan sehingga beban tak sepenuhnya dipikul oleh negara, dalam hal ini oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Jika demikian halnya, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan. Bank-bank yang sudah ditetapkan sebagai bank berdampak sistemik harus dipastikan pengelolanya tidak “ugal-ugalan” seperti sopir Metro Mini yang menabrak banyak rambu, karena toh kalau ada apa-apa terhadap banknya tetap akan diselamatkan. Pemilik dan manajemen bank yang masuk kategori berdampak sistemik harus selalu dievaluasi secara berkala pula, kendati UU perseroan terbatas (UU PT) tidak memungkinkan itu, tapi OJK bisa menyatakan bank itu hitam atau putih.

Sementara itu, bagi bank-bank yang masuk kategori nonberdampak sistemik, taruh saja masih sekitar 106 bank, dan 12-14 bank berdampak sistemik (menurut kriteria bank berdampak sistemik yang dilakukan Infobank Institute), setidaknya juga perlu dilakukan dorongan agar tidak ditinggalkan nasabahnya. Pengalaman selalu saja ada masa pancaroba dalam setiap kebijakan yang menyangkut perbankan.

Para pihak, baik Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), OJK, maupun LPS, harus satu suara ketika sudah menetapkan daftar bank yang berdampak sistemik ini ke masyarakat. Jangan sampai masyarakat tidak paham dan kalau toh paham jangan sampai berbeda-beda persepsi karena keempat lembaga tersebut berbeda memberi pernyataan.

Saat ini ataupun ketika mengumumkan daftar bank berdampak sistemik, yang paling penting ialah mengelola rumor. Jangan sampai bank-bank menjadi santapan rumor. Apalagi kita masih ingat, sekecil apa pun bank itu, ketika gagal pada waktu krisis akan mengakibatkan efek domino. Bersikaplah hati-hati dan tidak membiarkan pasar rumor terus terjadi sebab potensi pasar rumor itu ada—karena media sosial bisa meledakkan bank-bank yang sebenarnya sehat karena dirumorkan bisa ludes ditinggal nasabah.

Kita tidak mau bank-bank ini jadi bulan-bulanan rumor dan tugas itu ada pada keempat lembaga penting, yaitu BI, Kemenkeu, OJK, dan LPS, serta yang perlu dihindari ialah celotehan anggota DPR yang selama ini bikin keruh. Kita harus koordinasi. Jangan main-main dengan efek domino bank gagal. Kita punya pengalaman buruk dengan 16 bank saat krisis 1998 lalu, yang efeknya dahsyat ke mana-mana. (*)

 

 

Penulis adalah Pimpinan Redaksi Majalah Infobank

Related Posts

News Update

Top News