Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group
MAU untung, bisa jadi malah buntung. Pintar saja tidak cukup, tapi juga harus “pintar-pintar” dalam berinvestasi. Bahkan, di bursa saham ada istilah “uang setan” dimakan “demit”. Lalu, apakah sekarang makin banyak “setan” bergentayangan mencari makan di pasar modal lewat cara sah dengan melakukan praktik go public? Boleh jadi. Dan, korbannya adalah investor kecil, yang harusnya bisa menyambut Lebaran dengan gain malah harus tetap “puasa”, yang belum tahu kapan ”berbukanya” dengan keuntungan.
Praktik-praktik “perompakan” saham yang sebelumnya samar-samar kini mulai terlihat nyata. Praktik menjual saham, lalu sahamnya “tertidur” lama hingga harganya gocap (Rp50) dengan likuiditas “cekak”. Juga, tidak punya laporan keuangan, omzetnya stagnan, bisnisnya tak jelas, pailit, dan masuk Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Modus ini bukanlah cara baru. Jauh sebelumnya, di awal 1990-an juga ada hal seperti itu. Tapi, kini (Maret 2024) makin banyak saja saham yang bak “sampah”. Berserakan di lantai Bursa Efek Indonesia (BEI).
Menurut data Biro Riset Infobank (birI) yang diperoleh dari BEI, sejak 2021, ada seperempat saham (219 emiten) dari 903 emiten yang dapat disebut “sampah” dari peserta bursa. Saham “sampah” diartikan sebagai saham-saham yang mendapat notifikasi khusus oleh otoritas bursa, dalam hal ini BEI. Apa itu tanda X notifikasi khusus? Penjelasannya paling tidak ada 11 kriteria sebuah saham masuk kategori “kertas tisu” dan saham yang layak diperdagangkan. Jujur, saham-saham yang diberi tanda X ini untuk membedakan, mana saham “sampah” dan mana saham penuh daging.
Keluar-masuk notifikasi khusus atau dalam pemantauan khusus BEI adalah sesuatu hal yang tampak normal. Namun, masih tetap banyak saham yang menyandang status pemantauan khusus ini. Bahkan, bertahun-tahun. Data yang terlihat, ada yang sampai tiga tahun. Masih anteng di zona tidur dalam pengawasan khusus. Kalau di perbankan, jika ada bank rusak, masuk pengawasan khusus, masuk pengawasan intensif. Dan, kalau tidak ada setoran modal, maka bank tersebut wasalam. Ditutup.
Namun, di tengah banyaknya potensi saham sampah, yang membesar, tahun 2023 lalu atau setahun menjelang Pemilu 2024 ada sebanyak 79 perusahaan yang melantai di bursa saham Indonesia. Jumlah perusahaan yang melantai di bursa ini merupakan rekor tertinggi dalam sejarah pasar modal Indonesia. Sedangkan dana yang bisa diraih sebesar Rp54,14 triliun. Tahun 2022, jumlah perusahaan yang melantai di bursa sebanyak 59 perusahaan dengan dana yang dapat diraih sebesar Rp33 triliun.
Baca juga: Mulai Maret 2024, BEI Bakal Terapkan Papan Pemantauan Khusus Tahap II
Menurut EY Global IPO Trends 2023, untuk jumlah emiten baru yang melantai di bursa tahun 2023, Indonesia tercatat sebagai yang paling banyak (79 emiten) dibandingkan dengan negara-negara kawasan Asean. Thailand misalnya hanya 37 emiten. Tapi, dibandingkan dengan bursa saham dunia, Indonesia (IDX) menempati posisi keenam setelah India (BSE dan SME), Shenzhen, US (Nasdaq), Shanghai, dan Tokyo. Posisi Indonesia diikuti oleh bursa Korea Selatan, Beijing, dan Hong Kong.
Tidak hanya jumlah terbanyak emiten yang masuk ke bursa saham. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga terbang, dengan kenaikan 6,16% ke posisi 7.727. Atau, paling cuan kedua setelah Vietnam di kawasan Asean. Namun, pertanyaan yang mendasar, bagaimana kualitas barang dagangan di pasar saham Indonesia dengan 219 emiten yang masuk dalam daftar pengawasan khusus. Jumlah emiten sendiri yang melantai di BEI saat ini (Februari 2024) sebanyak 903 perusahaan. Tahun 2024, BEI menargetkan 62 perusahaan yang akan melantai di bursa.
Jujur, sesungguhnya terkait key performance indicator (KPI) tentang target perusahaan yang akan melantai di bursa itu ibarat dua sisi mata uang. Satu sisi, makin banyak perusahaan yang melantai di bursa tentunya makin bagus. Kedalaman pasar atau sering para ekonom menyebut financial deepening makin dalam makin bagus. Saat ini, menurut Biro Riset Infobank, kapitalisasi pasar di BEI baru mencapai 64% dari produk domestik bruto (PDB).
Di pasar modal ada istilah delisting, atawa harus out dari papan perdagangan. Jujur, saham-saham ini perlu dihindari oleh investor. Sebab, saham-saham tersebut sudah “gering”, berada di jurang delisting atau kembali menjadi perusahaan tertutup. Tapi, masalah utamanya, bagaimana perlindungan investor ini, khususnya investor kecil yang tidak pintar main saham dan sudah membeli saham sampah ini?
Berdasarkan POJK No. 3/POJK.04/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal, terdapat tiga cara untuk mengubah status perusahaan terbuka menjadi perusahaan tertutup. Tidak lagi sebagai perusahaan go public tapi go home kembali. Tidak ada kewajiban transparansi atau kewajiban sebagai perusahaan publik yang selama ini ditetapkan, seperti penyelenggaraan RUPS dan penerbitan laporan keuangan di media dan diaudit akuntan publik.
Tiga cara yang disebutkan POJK itu untuk kembali “go home” atau delisting, yaitu, satu, emiten mengajukan kepada regulator dan operator serta pemegang saham. Hal itu disebutkan dalam pasal 64 dan pasal 65beleid tersebut. Perseroan wajib memperoleh persetujuan pemegang saham independen dalam RUPS. Lalu melakukan pembelian kembali (buyback) atas seluruh saham yang dimiliki pemegang saham publik.
Dua, mengubah status perusahaan berdasarkan perintah OJK. Regulator dapat mengganti status dalam kondisi tertentu. Meski demikian, perseroan tetap wajib meminta persetujuan dari RUPS dan membeli kembali seluruh saham publik sehingga jumlah pemegang saham menjadi kurang dari 50 pihak.
Tiga, berdasarkan permohonan oleh BEI. Pasalnya, BEI dapat memohonkan hal tersebut bila emiten mengalami suatu kondisi atau peristiwa yang signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha. Selain itu, emiten tidak memenuhi persyaratan pencatatan efek di BEI. Pendek kata, nggak level lagi sebagai perusahaan publik yang tidak ringan syaratnya.
Persoalan utamanya sekarang ini bukan level atau nggak level. Tapi, bagaimana mencegah agar tidak banyak saham sampah di bursa? Selanjutnya, bagaimana nasib investor yang telanjur mengoleksi saham sampah dari emiten yang tidak di-delisting ini – yang karena pemegang saham pengendali “ndablek” tidak melaksanakan pembelian kembali saham publik yang sudah diatur dalam POJK itu?
Di sinilah peran penting OJK diharapkan, dengan mengeluarkan “senjata sakti” berupa perintah tertulis. Juga BEI dengan kewenangannya, untuk tegas. Tapi, tentunya kita tidak bisa menyalahkan pihak OJK maupun BEI yang saat ini tampak masih membiarkan emiten-emiten yang sahamnya masuk dalam pengawasan khusus ini – dengan harapan masih bisa diperbaiki. Dan, kalau tegas dilakukan “pengusiran” terhadap emiten-emiten itu dari lantai bursa, nasib investor tentu akan terkatung-katung. Serbasalah.
Namun, tampaknya harapan tinggallah harapan. Sebab, kalau melihat data, para pemegang saham pengendali ini tetap cuek. Terlihat dari lamanya masuk pengawasan khusus. Bahkan, banyak yang sejak 2021, dan masih masuk daftar pengawasan khusus BEI. Nah, jika makin hari jumlah emiten yang masuk dalam daftar pengawasan khusus makin banyak, dan dibiarkan tidur, tidak berlebihan kalau kita mengatakan telah terjadi pembiaran “perompakan” duit investor di pasar modal.
Para emiten yang layak delisting ini sejatinya dari awal boleh jadi memang punya motif mengambil uang investor lewat bursa. Pertanyaannya, apakah ini sengaja dengan go public lalu mendapatkan dana masyarakat dan membiarkan sahamnya tertidur. Inilah yang harus menjadi topik bahasan selanjutnya. Jadi, pembiaran terhadap para emiten yang sahamnya masuk kategori saham “sampah” ini tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun. Sebab, para investor sudah lelah tertipu dengan alasan sudah risiko bermain saham di bursa karena terjadi loss.
Menurut diskusi internal Infobank Institute, sudah saatnya pihak otoritas bursa tak hanya fokus pada sisi jumlah (kuantitas) untuk target perusahaan yang akan go public setiap tahunnya, tapi juga kualitas perusahaan. Tidak asal yang penting perusahaan go public. Buat apa target perusahaan go public tercapai, kalau akhirnya masuk cerita delisting. Saham-sahamnya tidur, lelap, dan pemegang saham pengendali tetap “ndableg”.
Dan, umumnya para investor yang membeli saham “sampah” ini sebagian adalah mereka yang baru belajar bermain saham. Sejalan dengan itu, tingkat literasi soal pasar modal relatif masih rendah dibandingkan dengan literasi tentang bank. Alih-alih dapat mewujudkan mimpi menjadi Warren Buffett – orang superkaya dengan cara investasi saham – untuk dapat hidup dengan pasif income saja tak berani, seperti yang dianjurkan oleh ahli keuangan Benjamin Graham dan Robert Kiyosaki.
Jangan biarkan para “perompak” saham ini terus beraksi di pasar saham. Kredibilitas pasar harus ditegakkan dan kepercayaan investor harus dipulihkan. Pertanyaannya, apakah praktik “penggarongan” dana investor ini akan tetap dibiarkan berlarut-larut dengan tetap “bangga” mencatat rekor perusahaan go public terbanyak? Buat apa rekor, sementara investor “gurem” yang uangnya tersangkut di saham-saham tidur itu menderita.
Baca juga: Siap-siap! BEI Segera Luncurkan 15 Seri SSF dengan Underlying Saham LQ45
Modus “perompakan” lewat pasar modal harus dihentikan. Benar, investasi itu penuh risiko. Namun, membiarkan perusahaan yang masuk dalam daftar pengawasan khusus berlarut-larut, sejatinya sama saja dengan membiarkan kredibilitas pasar tergerus reputasinya. Jangan biarkan para “perompak” ini terus beraksi di pasar modal kita yang masih penuh “lipstik”, kalau tidak disebut “goreng-gorengan”.
Sukses pasar modal bukan hanya kenaikan indeks, jumlah perusahaan yang masuk bursa, atau peningkatan financial deepening. Tapi juga soal kualitas perusahaan yang melantai di bursa. Seleksi harus lebih ketat. Tak melulu soal target. Dan, kalau boleh jujur dari 903 perusahaan yang melantai di bursa di tahun 2023, tidak lebih dari separo yang punya fundamental yang bagus. Bursa saham hanya digerakan beberapa emiten, dan khususnya emiten perbankan.
Langkah yang lebih tegas terhadap emiten yang masuk kategori delisting segera diambil, dan masuk pada visi yang sama, yaitu kualitas perusahaan yang utama. Dan, bukan sekadar target. Target itu penting, tapi kualitas itu jauh urgent saat ini. Semua itu untuk mengurangi potensi adanya “perompak” dengan modus melantai di pasar saham. Dan, jujur, boleh jadi para “setan” di pasar modal ini memang benar-benar masih ada – dan sepertinya tetap ada, sudah sangat laten. Saat inilah waktu yang tepat untuk mengusir “setan-setan” dari pasar modal untuk menegakan kredibilitas pasar saham Indonesia.
Ingat! Kata Bang Napi, kejahatan bukan hanya semata-mata karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah! Waspadalah!”