Oleh Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Media Group
BISIK-BISIK, pergantian direksi bank pembangunan daerah (BPD) kembali terdengar. Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) dijadikan momentum untuk pergantian direksi. Tidak peduli kinerja atau masa jabatan belum berakhir. Tidak hanya para penjabat (Pj), tapi gubernur terpilih pun, berdasarkan pengalaman sebelumnya, juga main “copot” direksi di tengah jalan. Para kepala daerah punya otoritas penuh sebagai pemegang saham pengendali (PSP).
Menurut kajian Infobank Institute yang pernah diumumkan beberapa waktu lalu, problem pengelolaan BPD bukan pada stakeholder, melainkan pada shareholder (pemegang saham). Sejak 10 tahun terakhir, BPD banyak mengalami kemajuan, terutama kinerja keuangan dan tentu perbaikan tata kelola, meski masih perlu ditingkatkan.
Hanya, hal yang tak pernah berubah di BPD ini yaitu mengenai “hobi” bongkar-pasang direksi BPD yang tak berpijak pada kinerja keuangan. Pendek kata, problem utama BPD ya shareholder – dengan pendekatan kekuasaan dan politik. Jadi, tak heran, pikiran direksi lebih banyak mengikuti acara gubernur atau Pj gubernur ketimbang urusan bisnis.
Lebih parah lagi, musim kampanye dan pemilihan gubernur. Apalagi jika gubernur dan wakil gubernur akan ikut berebut kursi gubernur. Terlebih lagi jika partainya berbeda. Itu belum urusan pemegang saham di tingkat kabupaten yang tak kalah rumitnya dan perlu dirawat juga oleh para direksi.
Langkah gonta-ganti direksi ini boleh jadi menjadi konsen Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lewat POJK Nomor 17 Tahun 2023 tentang Tata Kelola bagi Bank Umum – salah satu isinya menegaskan, setiap pergantian direktur utama dan direktur kepatuhan setidak-tidaknya “izin” dulu dengan OJK. Di sinilah OJK juga harus teguh, dan tidak membiarkan para Pj ini melangkahi POJK ini.
Kursi para direksi BPD hari-hari ini makin panas menjelang RUPST. Kinerja dan key performance indicator (KPI) sering tidak dipakai. Para kepala daerah mana yang lebih menguntungkan untuk kelanjutan kursi berikutnya. Di lain sisi, masih ada 12 BPD yang modalnya belum memenuhi ketentuan modal minimum. Hal ini juga perlu dipikirkan jalan keluarnya oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan para Pj kepala daerah.
Apakah kinerja keuangannya kinclong atau buram, pokoknya yang tidak bisa mendukung “langkah” politik dan para “pembisik” langsung dicopot. Bahkan, lebih baik mengosongkan posisi dirut dengan mengganti dirut lama yang belum habis masa jabatan dan masih bisa diperpanjang. Bukan memperpanjang, melainkan lebih baik tidak mengisi posisi dirut. Lebih senang menetapkan (Pj) dirut.
Penunjukan Pj gubernur ini janganlah sampai menimbulkan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan –yang kerap terjadi dalam praktik pemerintah daerah. Misalnya, tanpa sebab yang jelas, Pj gubernur mengganti dan memutasi pejabat ASN, dan bahkan mengganti direksi dan komisaris BPD sesuka hati. Malah, juga memerintahkan pengalihan dana kas daerah ke luar dari BPD yang notabene milik pemerintah daerah.
Penunjukan kepala daerah ini untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur – maka diangkatlah Pj gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai pelantikan gubernur sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dan, seperti pasal 174, ayat (7), UU Nomor 10/2016, ”Dalam hal sisa masa jabatan kurang dari 18 (delapan belas) bulan, Presiden menetapkan Gubernur dan Menteri menetapkan pejabat Bupati/Wali Kota”.
Menurut catatan Infobank Institute, beberapa direksi juga dicopot di tengah jalan. Itu adalah hak dari pemegang saham. Namun, dalam konteks yang lebih luas, pergantian yang tidak didasarkan pada tata kelola yang baik, akan menempatkan BPD pada komoditas “mainan” kepala daerah. Padahal, BPD adalah institusi bisnis yang hidup secara terus-menerus. Sedangkan kepala daerah hanya sementara, dan maksimal 10 tahun.
Padahal, pemerintah daerah tidak hanya punya BPD, tapi juga perusahaan daerah (PD), seperti PDAM atau percetakan dan perusahaan lain, seperti apotek. Jujur, hanya BPD yang menghasilkan sumbangan pendapatan asli daerah (PAD) yang besar. Sementara, perusahaan daerah tidak banyak yang untung, bahkan tidak sedikit yang babak belur alias rugi.
Entah karena BPD penghasil PAD terbesar maka diperlakukan seperti “harta” peninggalan Nabi Sulaiman. Tidak hanya oleh kepada daerah, tapi yang paling bikin sakit kepala adalah oleh tim sukses dengan dalih program “CSR” yang terkadang tidak masuk akal dan lebih untuk balas budi setelah pemilu.
Kembali pada masalah ganti kepala daerah maka ganti direksi BPD. Jangan sampai Pj gubernur yang hanya berkuasa dalam hitungan bulan ini ke depan melakukan “praktik-praktik” yang tidak sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG), dengan main ganti para direksi yang tidak sesuai dengan “pembisiknya”. Atau, yang tidak bisa “diajak” main mata.
Untuk itulah, menurut catatan Infobank Institute, pihak Kemendagri dan tentu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat menjadi benteng bagi para direksi dan komisaris BPD. Tidak hanya main ganti dengan alasan yang dicari-cari. Sepanjang tidak ada masalah integritas, dan hukum yang sudah terbukti, pergantian direksi dan komisaris BPD oleh Pj gubernur harus dihentikan. Apalagi, BPD-nya berkinerja “sangat bagus”, sesuai dengan key performance indicator (KPI) yang sudah ditargetkan.
Jujur, harus diakui, BPD merupakan BUMD yang relatif sehat, karena bisa jadi diawasi oleh OJK dan Bank Indonesia (BI). Banyak aturan yang mengatur dan mengawasi jalannya bank. Tidak seperti BUMD lainnya, tidak ada pengawasan dan lebih tidak jalan tata kelolanya dibandingkan dengan bank. Bahkan, BUMD selain bank dikelola bak toko kelontong.
Untuk itu, pihak Kemendagri sudah seharusnya “rela” perbankan dikecualikan dari PP No. 54 Tahun 17 tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Itu juga harus didukung oleh OJK, karena OJK dasarnya adalah Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang lebih tinggi daripada PP.
Sudah sewajarnya OJK berani pasang badan untuk BPD karena termasuk yang diawasi dengan tata kelola yang baik sesuai dengan ketentuan OJK. Jangan biarkan problem shareholder ini menjadi masalah dan “mengerdilkan” BPD. Kemendagri terlalu ikut cawe-cawe yang tidak semestinya, sebagaimana tertuang dalam PP 54 Tahun 2017.
Sudah waktunya Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Presiden menjaga “muruah” tata kelola bank. Sebab, BPD itu juga bank, bukan PDAM. Sebab, bank tidak cocok dengan PP 54 Tahun 2017 – yang jujur saja, isinya “pengerdilan” BPD.
Jangan lagi ada kesewenang-wenangan di BPD dengan main “copot”, hanya demi kepentingan sesaat dari Pj gubernur yang akan berakhir di November 2024 ini (pemilihan kepala daerah).
Harapannya, para Pj gubernur yang “sukses” menjaga pemilu tidak melakukan abuse a power atau penyalahgunaan kekuasaan/wewenang dari filosofi peralihan. Sekali lagi, jangan abuse a power – sebab kekuasaan Pj ini tidak mendapat mandat dari rakyat. Para Pj ini tidak dipilih oleh rakyat, tapi meski demikian toh pemegang saham harus tunduk pada POJK 17 Tahun 2023 tentang Tata Kelola bagi Bank Umum. Pendek kata, para pemegang saham tidak main “bongkar-pasang” secara “brutal” demi ambisi politik kekuasaan.
Tidak hanya itu. Sampai saat ini juga masih ada beberapa BPD yang belum memenuhi modal minimum Rp3 triliun. Menurut data Biro Riset Infobank (birI), hingga kini masih ada 12 BPD yang modalnya “cekak”. Berharap dari pemerintah daerah selaku PSP, yang sering “merecoki” para direksi BPD – agar semua BPD bisa memenuhi modal minimum Rp3 triliun pada akhir 2024 – sepertinya sulit.
Menurut Infobank Institute, membentuk kelompok usaha bank (KUB) adalah langkah yang cepat dan baik untuk mengatasi masalah permodalan BPD. Ada beberapa hal mengapa KUB ini akan menjaga kelangsungan BPD ke depan. Sebab, konsekuensi dari tidak memenuhi persyaratan modal akan membuat BPD turun “kasta” menjadi BPR seperti Bank Prima Master. Jika turun kasta, maka akan membuat kemunduran bagi BPD karena kapasitas bisnis jadi lebih kecil dan akan mengancam PAD.
Langkah KUB ini akan membuat BPD tetap berdiri tegak, meski dengan perubahan pemegang saham. Dan, Kemendagri tetap tidak kehilangan kendali terhadap BPD karena masih dimiliki oleh para BPD yang lebih besar. Dan, bisa jadi tingkat dividen akan makin besar meski kepemilikan saham mengecil. Lebih baik punya saham lebih kecil dibandingkan dengan sebelumnya. Tapi, dengan modal BPD yang meningkat, dividen bisa jadi akan menjadi lebih besar.
Jalan KUB adalah jalan terbaik bagi 12 BPD yang modalnya masih “cekak”, dan tentunya para Pj ini tidak hanya “sibuk” mengurus kursi direksi BPD yang makin hari makin panas. Semua ini membutuhkan dukungan dari pemerintah daerah mengingat tenggat pemenuhan modal itu tinggal 10 bulan lagi. Waktu yang singkat.